Click here for Myspace Layouts
Powered by Blogger.

Friday, June 11, 2010

DAKWAH ISLAM: Antara Tharîqah, Uslûb, dan Washîlah

Ideologi secara umum dapat didefinisikan sebagai serangkaian konsep hubungan dan keyakinan yang memberikan dasar bagi sistem politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Dengan demikian, kita memahami bahwa ideologi apapun mempunyai dua komponen pokok: (1) ide (fikrah); (2) metode (tharîqah).

Ide (Fikrah)
Terma ide (fikrah) dapat diterjemahkan sebagai pemikiran. Pemikiran yang paling mendasar adalah doktrin tentang landasan, yaitu doktrin tentang akidah. Seluruh pemikiran dan sistem yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan terpancar dari—dan ditentukan oleh—akidah. Dengan demikian, ide/pemikiran—yang menjadi satu dari dua komponen pokok sebuah ideologi—adalah pemikiran yang dibangun di atas akidah. Dalam konteks ideologi, ide terdiri dari:
(1) Akidah atau doktrin itu sendiri yang merupakan landasan pemikiran tentang alam, manusia, dan kehidupan. Allah SWT berfirman:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
Katakanlah, “Allah itu Esa.” (QS al-Ikhlash [112]: 1).

Ayat di atas merupakan ide/pemikiran yang berkaitan langsung dengan akidah.
(2) Peraturan/hukum-hukum yang muncul dari akidah. Hukum-hukum (ahkâm) itu diturunkan dari akidah (doktrin) dan digunakan untuk memecahkan problema kehidupan secara keseluruhan. Allah SWT berfirman:
وَاَحَلَ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 225).

Ayat tersebut menghasilkan pemikiran yang berkaitan dengan interaksi yang spesifik, yakni interaksi ekonomi dan kerjasama. Ayat-ayat yang lain ada yang berkaitan dengan kondisi yang diperlukan untuk mendirikan khilafah, menjelaskan tentang khalifah, dsb. Ada juga yang berkaitan dengan tata hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, transaksi bisnis, makanan, pakaian, dan lain sebagainya.

Metode (Tharîqah)
Metode (tharîqah) adalah cara untuk merealisasikan ide sehingga sebuah ideologi menjadi aplikatif (membumi), tidak menjadi falsafah kosong. Rasulullah saw. tidak hanya sekadar menjadi penyampai berbagai penjelasan Tuhannya semata, tetapi juga menjadi seorang hakim pelaksana atas berbagai penjelasan tersebut. Rasulullah saw., misalnya, tidak hanya sekadar menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa yang harus disembah, tetapi juga berusaha agar hal itu bisa direalisasikan ke dalam dunia nyata. Beliau menyeru umat manusia ke jalan Allah, sementara pada saat yang sama, komunitas para sahabat bekerja bersama-sama beliau untuk mendirikan Daulah Islamiyah di Makkah. Dengan begitu, beliau dapat mewujudkan suatu institusi yang tegak di atas keimanan. Institusi inilah yang secara praktis menerapkan Islam, sekaligus memberikan sanksi kepada setiap orang yang keluar dari kerangka akidah dan sistem Islam. Institusi inilah yang juga berusaha menyebarkan Islam dengan metode dakwah dan jihad.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode mencakup: (1) Aplikasi atas ide; (2) Pemeliharaan akidah; (3) Penyebaran ideologi.
Hukum-hukum di seputar tegaknya Daulah Islamiyah dan usaha untuk mendirikannya, ‘uqûbât, jihad, ataupun amar makruf nahi mungkar semuanya merupakan hukum-hukum syariat yang bersifat praktis. Hukum-hukum tersebut telah ditetapkan oleh syariat untuk menjaga, memelihara, menyebarkan, serta mendakwahkan akidah dan sistem Islam—agar keuniversalan keduanya dapat tercapai.
Suatu aksi akan dipandang sebagai bagian dari metode jika ada justifikasi yang berasal dari dalil. Sebagai contoh, jihad. Jihad merupakan metode yang memiliki banyak aktivitas cabang; masing-masing memiliki landasan dalil. Contohnya adalah melakukan perang ofensif dan mendakwahkan Islam kepada mereka yang menjadi lawan berperang kita. Semua itu didasarkan pada dalil-dalil yang ada. Inilah jalan yang dilakukan dan ditempuh oleh Rasulullah. Karenanya, semua aksi itu secara kesluruhannya terlarang untuk dimodifikasi (ditambah, dikurangi, atau diubah).
Dengan demikian, jelaslah bahwa ide (fikrah) dan metode (tharîqah) merupakan komponen dari suatu ideologi. Oleh karenanya, keduanya mesti dipegang secara kuat dan dengan keyakinan penuh. Tidak boleh hanya mengambil fikrah sembari mengabaikan tharîqah ataupun sebaliknya. Allah SWT berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ
Apakah engkau akan mengimani sebagian dari al-Quran dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang melakukan hal itu kecuali kehinaan di dunia dan di Hari Kiamat kelak akan dikembalikan pada azab yang pedih. (QS al-Baqarah [2]: 85).

Seandainya tidak ada hukum-hukum yang menjelaskan tentang tatacara melindungi, menerapkan, dan menyebarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah dan sistem Islam, Islam pasti akan stagnan (beku), tidak bergerak, tidak akan sampai kepada kita, dan tidak akan tersebar ke seluruh dunia; Islam pun pasti hanya akan menjadi sekumpulan nasihat dan petunjuk semata sebagaimana halnya agama Nasrani yang cukup dengan seruan, “Janganlah kamu berzina dan tertarik dengan istri tetanggamu,” tanpa ada peraturan lain yang memungkan seruan tersebut bisa dilaksanakan di dunia nyata. Seandainya demikian kenyataannya, Islam pun pasti tidak akan memiliki pengaruh yang signifikan bagi kehidupan, dan akan membutuhkan sejumlah pemikiran praktis yang lain—di luar Islam—dalam upaya menerapkan hukum-hukum yang tidak mampu Islam terapkan; meskipun dengan gambaran yang salah.
Di dalam Islam, zina, misalnya, merupakan suatu perbuatan yang haram. Sesuatu yang dapat mencegah terjadinya hubungan yang haram ini tidak lain adalah hukum-hukum syariat yang lain yang berkaitan dengannya, yaitu ‘uqûbah atau sanksi (berupa hukuman cambuk atau rajam, red.) bagi pezina yang secara praktis diterapkan oleh Daulah Islamiyah. Dalam hal ini, syariat Islam telah menjelaskan hukum zina melalui firman Allah berikut ini:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (QS al-Isra’ [17]: 32).

Syariat Islam juga telah menjelaskan hukuman bagi pelaku zina melalui ayat berikut:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ 
Perempuan yang berzina maupun laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali deraan. (QS an-Nur [24]: 2).

Lebih dari itu, syariat Islam juga telah menjelaskan pihak yang melaksanakan hukuman tersebut dan mengurusi penerapannya melalui sabda Rasulullah saw. berikut:

»ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنِ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الإِْمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ«

Jauhkanlah sanksi hudûd dari umat Islam semampu kalian. Jika kalian menemukan jalan keluar bagi seorang Muslim (agar ia terbebas dari sanksi hudûd), lepaskanlah ia. Sesungguhnya penguasa yang salah dalam memberi maaf lebih baik daripada salah dalam memberlakukan sanksi. (HR at-Turmudzi dan al-Hakim).

Melalui hadis ini, Rasulullah saw. jelas telah menetapkan bahwa imam (penguasa)-lah yang menerapkan hukum tersebut.
Demikian juga dengan shalat. Dalam konteks shalat, sesungguhnya syariat Islam telah menjelaskan bahwa hukumnya adalah fardhu. Syariat Islam telah menjelaskan pula hukum di seputar sanksi bagi orang yang melalaikannya. Syariat Islam juga menjelaskan tentang pihak yang menerapkan sanksi, yaitu Daulah Islamiyah.

Uslûb (Cara)
Uslûb (cara) adalah cabang dari metode (tharîqah). Uslûb berbeda dengan tharîqah; ia tidak memiliki pijakan dalil secara khusus, tetapi mengikuti hukum tharîqah. Contohnya adalah dalam konteks jihad, yakni ketika Allah SWT memerintahkan kaum Muslim menyiapkan kekuatan apa saja yang mungkin dapat digunakan untuk menggentarkan, melawan, dan mengalahkan musuh.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
Siapkanlah kekuatan yang mungkin kalian siapkan untuk (menghadapi) mereka. (QS al-Anfal [8]: 60).

Persiapan tersebut memerlukan banyak aktivitas seperti menggunakan cara pabrikasi senjata tertentu, mengadopsi gaya militer tertentu, dan sebagainya. Semua aktivitas itu secara implisit terkandung dalam kata siapkanlah sehingga tidak lagi memerlukan dalil-dalil untuk menjelaskan masing-masing dari aktivitas tersebut.
Contoh lain adalah perintah Allah dan Rasul-Nya untuk memilih seorang khalifah untuk seluruh kaum Muslim. Dalam proses pemilihan khalifah boleh jadi akan ditempuh pengadopsian suatu prosedur pemilihan dan pengumuman suara. Semua ini tidak memerlukan dalil khusus, tetapi cukup disandarkan pada keterangan umum dari perintah di atas, yaitu memilih khalifah.
Walhasil, uslûb adalah sekumpulan aktivitas cabang yang diasumsikan sesuai dengan suatu aktivitas pokok tanpa memerlukan dalil khusus. Pengadopsian cara berperang tertentu, prosedur pengumuman suara, aturan lalu lintas tertentu, pembagian kekuatan militer ke divisi dan subdivisi, dsb semuanya berhubungan dengan uslûb tertentu dan hukumnya boleh diadopsi. Namun demikian, ketika uslûb tertentu mutlak harus diadopsi, maka ia menjadi wajib hukumnya karena kaidah syariat menyatakan:
]مَالاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ اْلوَاجِبُ[
Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.

Dari kaidah tersebut kita dapat mengetahui bahwa tidak ada satu kewajiban untuk mengikuti satu uslûb tertentu, kecuali ketika uslûb tersebut harus diwujudkan sesuai dengan kaidah di atas, karena uslûb bersifat kondisional.
Dengan alasan ini, uslûb yang dipakai seseorang bisa saja berbeda dengan yang dipakai oleh orang lain dan bisa berubah dari satu situasi ke situasi yang lain. Karena itu, tidak bijaksana membatasi uslûb tertentu sebagai standar. Sebab, uslûb ditentukan oleh situasi dan kondisi. Satu uslûb boleh jadi sangat berhasil pada satu situasi tetapi menjadi gagal total pada beberapa situasi yang lain. Karena itu pula, kita berkewajiban untuk berusaha keras mencari uslûb yang paling efektif. Dalam banyak hal, uslûb yang efektif akan berpelunag besar membuahkan hasil yang baik sekali, seperti manuver Khalid bin Walid ketika menarik kembali pasukan pada perang Mu’tah yang membuahkan terselamatkannya pasukan kaum Muslim dari kerusakan yang parah.

Membedakan Tharîqah dan Uslûb
Dengan meneliti sejarah dakwah, seseorang akan dapat mengetahui bahwa ada banyak keadaan yang menjelaskan perbedaan antara metode (tharîqah) dan cara (uslûb). Kita diperintahkan untuk mengadopsi dan menegakkan tharîqah tanpa ada deviasi sedikitpun, tetapi tidak diwajibkan untuk mengadopsi uslûb tertentu.
Sunnah Rasulullah adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Sunnah menjelaskan dan mendeskripsikan secara detil banyak fikrah dan tharîqah yang diperintahkan dalam al-Quran. Penjelasan atas fikrah tertentu adalah sama hukumnya dengan fikrah itu sendiri. Contohnya adalah ibadah ritual. Allah telah memerintahkan bagaimana performa seseorang yang melaksanakan shalat dan haji secara detil. Semua aktivitas itu hukumnya sama dengan fikrah-nya, yakni perintah untuk menunaikan shalat dan haji itu.
Untuk mengetahui mana dari aktivitas Rasulullah yang merupakan kewajiban, mana yang merupakan sunnah/anjuran, dan mana yang merupakan kemubahan maka ketentuan dalam ushul fikih perlu dijelaskan. Dengan mendalami aktivitas Rasul dalam berbagai tahapan dakwahnya akan ditemukan apakah suatu aktivitas merupakan bagian dari tharîqah atau uslûb. Rasulullah menyampaikan Islam mengikuti tharîqah tertentu.
Yang termasuk tharîqah dakwah Rasulullah saw. adalah menyampaikan Islam dan menggerakkan dakwah dari satu tahap ke tahap berikutnya. Beliau menetapi tahap dakwah tertentu dengan aktivitas yang tidak beliau lakukan pada tahap sebelumnya yang disertai dengan ketekunan dan kesungguhan hati sekalipun hal itu berpotensi mendatangkan bahaya. Semua itu menjadi sejumlah bukti/dalil bahwa aktivitas tersebut merupakan kewajiban dan menjadi bagian dari tharîqah.
Secara spesifik, pada tahap awal sekali, Rasulullah teguh dalam memusatkan usaha untuk membina individu dalam halqah-halqah dan mendidik masyarakat umum (tatsqîf jama‘î). Ketabahan dan keberlanjutan beliau dalam melaksanakan aktivitas tersebut merupakan bukti/dalil yang memastikan bahwa mendidik masyarakat dan mendidik individu dengan Islam merupakan tharîqah. Konsekuensinya, hal itu wajib diadopsi dan diikuti.
Pada tahap kedua, yang dilakukan oleh Rasulullah mencakup dua aktivitas. Keduanya tidak beliau lakukan pada tahap sebelumnya atau tahap pertama (tahap tatsqîf) yaitu:

a. Mengkritik berbagai perilaku buruk yang terjadi di masyarakat dalam bentuk yang dimandatkan oleh Islam. Rasulullah menyerang kecurangan dan penipuan dalam timbangan dan praktik pembunuhan anak perempuan.
b. Menyingkap rencana makar terhadap kaum Muslim semisal yang terjadi selama peperangan antara Romawi dan Persia.

Semua itu mengindikasikan bahwa menyingkap rencana orang-orang kafir dan membongkar isu di masyarakat dengan dasar Islam merupakan bagian dari tharîqah. Berbagai macam aksi Rasulullah saw. pada tahap kedua yang tidak beliau lakukan pada tahap pertama mengindikasikan bahwa sejumlah aktivitas itu merupakan aktivitas yang spesifik yang mesti ada pada tahap kedua.
Pada tahap ketiga, Rasulullah saw. berupaya mencari perlindungan (thalab an-nushrah) bagi dakwah Islam. Beliau berkeras hati dan terus melakukan upaya ini. Beliau, misalnya, mengutus Mush‘ab bin Umair ke Madinah. Semua itu mengindikasikan bahwa mencari perlindungan bagi dakwah Islam merupakan bagian dari tharîqah.
Menyampaikan dakwah Islam serta mengintroduksi dan menumbuhkan fikrah Islam tentang kehidupan sekaligus mengubah kehidupan perlu dilakukan sejak tahap pertama dakwah. Kemudian, pada tahap kedua, dakwah juga perlu dibarengi dengan mengungkap rencana makar (kasyf al-khuththath) orang-orang kafir (musuh Islam) terhadap kaum Muslim dan mengangkat berbagai isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan landasan Islam. Setelah itu, perlu usaha untuk menegakkan negara Islam. Aktivitas ini terkait dengan fase ketiga dari dakwah Islam. Semua ini merupakan bagian dari tharîqah dakwah Rasulullah saw. Keteguhan beliau dalam melakukan semua itu mengindikasikan bahwa semua aksi itu wajib dilakukan dalam mendakwahkan Islam. Dalil dari semua aksi tersebut adalah firman Allah berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sungguh telah terdapat dalam diri Rasul suri teladan yang baik. (QS al-Ahzab [33]: 21).

Imam al-Qarafi mengkhususkan satu bagian dalam buku beliau, Al-Furûq. Pada bab tersebut beliau menjelaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam kapasitas beliau sebagai imam dan qâdhî (hakim), yang tidak dapat dicontoh oleh siapapun kecuali dia adalah seorang imam atau qâdhî. Demikian pula apa yang dilakukan oleh Rasul dalam kapasitasnya sebagai dai yang menyerukan Islam; merupakan kewajiban bagi semua pengemban dakwah Islam.
Dengan demikian, tatkala kita membawa pesan Islam, kita tidak boleh melakukan berbagai aktivitas perjuangan fisik (mengangkat senjata) sebelum berdirinya daulah (negara) Islam, karena hanya Daulah Islamiyah-lah yang boleh melakukan perjuangan fisik. Rasulullah hanya melakukan aktivitas perjuangan fisik setelah beliau menjadi kepala negara Islam. Ketika di Makkah, beliau sama sekali tidak melakukan aktivitas fisik, karena beliau belum menjadi imam (kepala negara).
Kita menjumpai bahwa Rasulullah melakukan sejumlah aktivitas dalam menyampaikan pesan Islam saat di Makkah. Beliau melakukan pembinaan khusus di tempat-tempat khusus dan dengan cara yang khusus, yaitu dalam bentuk halqah-halqah, seperti Halqah al-Khabbab. Beliau juga mendidik masyarakat secara umum. Aktivitas itu dilakukan dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda, misalnya beliau pernah mengundang orang-orang untuk makan bersama dengan tujuan untuk menyampaikan risalah Islam; beliau juga pernah berdiri di Bukit Shafa seraya menyampaikan pesan-pesan Islam. Aktivitas yang berbeda-beda ini terkait dengan cabang dari konsep pokoknya, yakni pembinaan umum (tatsqîf jama‘î). Dengan demikian, dalam hal yang terakhir ini, kita tidak diwajibkan untuk melakukan cara yang sama dengan cara yang diadopsi dan daipraktikkan oleh Rasulullah. Kita bisa saja berbicara kepada orang ketika orang-orang itu berkumpul di masjid, saat pesta pernikahan, atau di penguburan; melalui media seperti di bus, kereta, pesawat, dan sebagainya.
Hal yang sama dilakukan oleh Rasulullah mencari perlindungan (thalab al-nushrah). Beliau hanya mencari perlindungan dari kaum Muslim atau dari individu Muslim yang memiliki kekuatan saja (tidak dari orang-orang kafir). Konsekuensinya, kita pun dapat mencari perlindungan dari suatu kaum, dari komandan militer, atau dari massa yang memiliki kekuatan (ahl al-quwwah) selama mereka adalah Muslim. Artinya, mencari perlindungan dalam dakwah adalah termasuk tharîqah, sedangkan siapa yang harus diminati perlindungan adalah termasuk uslûb.
Kesimpulannya, uslûb didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu kewajiban dilaksanakan. Uslûb tidak memerlukan dalil spesifik karena telah tercakup dalam dalil umum dari aktivitas pokoknya dan tujuan yang hendak diraih.

Wasilah (Alat)
Wasilah (washîlah) adalah piranti fisik yang boleh diadopsi ketika melakukan aktivitas cabang. Menggunakan kertas untuk menulis, radio untuk berbicara, dan senapan otomatis untuk berperang, dll merupakan wasilah. Dalam hal ini, berlaku kaidah ushul fikih:
]
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Semua benda adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Contoh, kita dapat menggunakan kotak kayu untuk dalam pemungutan suara, menggunakan misil antar benua untuk berperang, atau menggunakan satelit untuk komunikasi. Kita dapat menyeru masyarakat dengan menggunakan pamflet-pamflet, leaflet-leaflet, atau sarana-sarana lainnya. Semua itu diperbolehkan. Rasulullah saw. suatu ketika pernah mengutus seseorang ke Yaman untuk mempelajari teknik pembuatan pedang dan lantas Rasul pun mengadopsi teknologi tersebut. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

Read more...

Dinamika Aqidah Islamiyah

Islam adalah jalan hidup yang sempurna. Islam merupakan pandangan hidup yang menentukan tingkah laku kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari. Agar kaum muslimin menyadari betapa pentingnya keterikatan dengan hukum syara', cenderung hidup hanya untuk Islam, dan berjuang demi menyebarluaskan Islam -- sebagai satu risalah yang universal -- ke seluruh penjuru dunia; maka harus dibangkitkan pada diri mereka semangat merealisasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan mengikatkan diri pada hukum syara'. Rasa rindu untuk hidup di bawah naungan Islam sangat diperlukan. Demikian pula rasa takut terhadap azab Allah yang akan menimpa mereka apabila tidak menerapkan Islam dan tidak terikat dengan hukum-hukumnya.
Bangkitnya semangat tersebut hanya dapat terwujud dengan membangkitkan aqidah Islam dan menancapkannya kembali dalam diri kaum muslimin. Apalagi cahaya aqidah tersebut telah meredup dari hati kaum muslimin. Bahkan tidak lagi berpengaruh dalam kehidupan mereka, dan tidak mampu lagi menyalakan semangat untuk mengikat-kan diri dengan hukum syara'.
Aqidah kaum muslimin saat ini sesungguhnya benar-benar telah kehilangan gambaran tentang hari kiamat. Hati mereka tidak lagi tergetar akan azab Allah atau merasa takut terhadap api neraka jahanam. Mereka juga telah kehilangan rasa rindu kepada surga, berikut keni'matan akhirat yang hakiki. Bagi mereka, keni'matan-keni'-matan surga yang abadi itu -- yang tak pernah dilihat oleh mata manusia dan belum per-nah didengar oleh telinga -- sudah tidak lagi menarik. Akibatnya, kaum muslimin tidak lagi mencita-citakan keridlaan Allah SWT sebagai nilai hidup yang tertinggi. Mereka mengalihkan perhatiannya kepada dunia dengan segala perhiasannya, terutama harta, kedudukan, kekuasaan, rasa cinta kepada isteri-isteri dan anak-anak.Mereka telah men-jadikan kebutuhan materi sebagai satu-satunya nilai hidup yang dikejar-kejar. Pan-dangan mereka tidak lagi mengarah ke langit tetapi telah terfokus kepada dunia.
Kondisi aqidah yang lemah ini telah menyebabkan berbagai bencana terus menerus menimpa diri kaum muslimin saat ini, mulai dari lepasnya keterikatan terhadap hukum-hukum Islam, ketidakberdayaan menghadapi hukum-hukum kufur yang berasal dari Barat, termasuk dominasi negara adikuasa atas negeri-negeri mereka yang telah memperalat penguasa mereka dan merampas harta kekayaan mereka; hingga mereka menerima berbagai kehinaan dan kenistaan, hidup dalam suasana ketakutan dan ke-pasrahan, serta sibuk mengejar kesenangan duniawi dengan melupakan Allah SWT.
Oleh karena itu untuk menyelesaikan seluruh problematika tersebut, mau tidak mau aqidah kaum muslimin harus dibangkitkan, seraya dimantapkan dan dihidupkan kembali.Manakala aqidah aqliyah pada diri mereka telah berfungsi kembali, maka sungguh semangat mereka akan kembali bangkit. Kaum muslimin akan kembali kepada Allah dan terikat pada syari’atNya. Mereka akan disiplin dalam melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi apa yang dilarangNya.
Kaum muslimin akan melepaskan semua undang-undang thaghut (kufur) dan bahkan menumpas kepemimpinan penguasa mereka yang menentang Allah dan Rasul-Nya tanpa takut lagi akan rizki atau nyawanya sekalipun. Sebab mereka (kaum mus-limin) telah beriman bahwa rizki dan hidup berada di tangan Allah SWT semata, bukan berada di tangan makhluknya. Kerinduan mereka terhadap syurga dan segala keni'ma-tan yang ada di dalamnya akhirnya akan mampu mengalahkan kecintaan mereka terhadap kesenangan duniawi. Ketakutan mereka terhadap azab jahanam juga akan mengatasi rasa takut mereka terhadap para penguasa kufur dengan segala ancaman serta kekejamannya.
Dari sini jelaslah bahwa lemahnya keterikatan terhadap hukum syara' dalam hubungan individu dan masyrakat merupakan akibat dari lemahnya semangat aqidah akliyah yang ada pada diri kaum muslimin. Sebab, keterikatan terhadap hukum syara' merupakan buah dari iman. Jadi, apabila semangat iman ini makin kuat maka semangat keterikatan itu akan semakin kuat pula. Sebaliknya, apabila semangat iman itu makin lemah maka keterikatannya pun akan menurun.
Demikian pula harus dipahami bahwasanya meskipun tugas yang paling penting yang dibebankan pada pundak pengemban da'wah --yang berjuang untuk mengembali-kan pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT-- adalah mencurahkan tenaganya untuk menjelaskan betapa pentingnya nilai keterikatan terhadap hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan nilai-nilai dasar bagi kehidupan, juga berusaha mewujudkan kesadaran umum pada diri kaum muslimin terhadap nilai-nilai dasar kehidupan menyangkut hubungan antar individu masyarakat, antara mereka dengan negara atau antara mereka dengan negara dan bangsa lain; namun sesungguhnya hal yang paling penting lagi ialah bahwa mereka harus memahami bagaimana cara menjelaskan pentingnya keterikatan terhadap hukum-hukum syari’at dan upaya-upaya yang dapat mewujudkan kesadaran umum di tengah-tengah umat terhadap pentingnya keterikatan dengan hukum-hukum syara' tersebut.
Semua ini tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan menanamkan aqidah aqliyah, memberikan gambaran detailnya, serta menancapkan ide-ide yang tercantum dalam Al Qur’an dalam jiwa kaum muslimin. Karena sesungguhnya yang mendorong melaksana-kan syari’at dan terikat dengan hukum-hukumnya adalah hasil dari gambaran detail aqidah tersebut serta sejauh mana tertanamnya dalam jiwa umat. Dengan demikian kaum muslimin akan takut terhadap ancaman azab neraka manakala mereka menyim-pang dari syari’at Islam. Mereka akan mengharap surga yang penuh ni'mat pada saat mengikuti syari’at dan terikat dengan hukum-hukumnya. Pada saat itulah akan nampak keterikatan terhadap hukum-hukum syari’at dalam perilaku individu maupun dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Oleh karena itu, bukan tanpa disengaja apabila Al Qur’an selama tiga belas tahun di Makkah selalu memfokuskan aqidah dan menanamkan ide-idenya, sehingga masya-rakat sudah terbiasa mendengar ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan di siang maupun malam hari, senantiasa membicarakan masalah aqidah dan ide-idenya. Pada periode Madinah, meskipun perhatian Al Qur’an terfokus pada penerapan hukum-hukum syariat, namun ayat-ayat yang diturunkan selalu mengingatkan kaum muslimin terhadap aqidah dan mengkaitkan hukum-hukum yang diturunkan tersebut dengan iman. Hal ini disebabkan karena aqidah memiliki kedudukan paling tinggi dalam mewujudkan semangat dalam diri orang-orang yang beriman untuk melaksanakan perintah dan me-nerapkan hukumnya. Oleh karena itu, agar kita dapat membuahkan hasil dalam mem-bangkitkan dan menggerakkan umat, juga agar kita apat menghidupkan kembali seman-gat ddan kerinduan umat terhadap pelaksanaan hukum-hukum Islam, di bawah naungan sistem khilafah Islam, maka mau tidak mau harus meneladani cara yang ditempuh Al Qur’an Al-Karim dalam hal ini. Berikut ini ditunjukkan beberapa ayyat sebagai contoh tentang cara Al Qur’an yang berkaitan dengan hal ini:

فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في
أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليماً .

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya " (An Nisaâ: 65).

يا أيها الذين آمنوا إن تطيعوا فريقاً من الذين أوتوا الكتاب
يردوكم بعد إيمانكم كافرين .

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah beriman " (Ali Imran: 100)

يا أيها الذين آمنوا اصبروا وصابروا ورابطوا واتقوا الله لعلكم تفلحون

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu beruntung " (Ali Imran: 200)

يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama-mu dengan jalan yang batil " (An Nisa: 29)

لا تجد قوماً يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من حاد الله ورسوله


"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya." (Al Mujadilah: 22)

Ayat-ayat seperti ini, dan ratusan yang lainnya serta ratusan hadits yang mulia, ketika menjelaskan sesuatu ide, hukum, pemecahan, perintah atau larangan sesung-guhnya selalu dikaitkan dengan aqidah dan semangat iman, serta memberi dorongan untuk melaksanakan dan mengingatkan terhadap apa yang diinginkan oleh ayat.
Demikianlah jalan yang digunakan oleh Al Qur’an ketika menjadikan masyarakat menerima aqidah, memiliki sikap komitmen dan mengikatkan diri pada hukum-hukumnya. Jadi, pengaruh rasa takut terhadap Allah SWT, takut terhadap azab kubur dan kedahsyatan hari kiamat, pedihnya siksa neraka jahanam; lalu kerinduan akan surga berikut keni'matannya yang kekal di dalamnya dari hal-hal yang diinginkan oleh setiap jiwa, termasuk hal-hal yang indah dilihat mata, istana-istana yang sangat indah berikut bidadari yang cantik-cantik dan gadis-gadis yang segar-segar; semua ini menjadikan manusia mengalihkan pandangannya ke langit dari yang semula sibuk mencari kesenangan duniawi. Semua ini dapat memalingkan mereka kepada hal-hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan kepada surganya serta menjauhkan dirinya dari azab neraka.
Dari sinilah kaum muslimin bertolak untuk mengikatkan diri kepada hukum-hukum Allah, bertarung melawan ide-ide kufur yang sudah merajalela berikut para penguasa thaghut yang bertindak sebagai musuh-musuh Islam. Kaum muslimin akan siap melakukan perjuangan politik melawan setiap pemerintahan thaghut dan mau berjuang secara sungguh-sungguh untuk menumpas sistem pemerintahan kufur dan melepaskan diri dari dominasi mereka serta mengembalikan pelaksanaan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT.
Oleh karena itu, adalah suatu keharusan untuk menghidupkan kembali aqidah Islam pada jiwa kaum muslimin, agar dapat mendorong komitmen mereka dan terikat dengan hukum-hukum syari’at serta bersegera merubah keadaan mereka, melenyapkan kekuatan negara-negara kafir berikut perundang-undangan dan sistemnya.
Untuk membangkitkan semangat aqidah dibutuhkan penjelasan tentang mafhum / persepsi atau ajaran pokok dalam aqidah Islam, kemudian menanamkannya ke dalam jiwa individu kaum muslimin. Ajaran mendasar ini merupakan suatu ajaran yang terpen-ting dan paling berpengaruh dibandingkan dengan yang lainnya. Karena kepentingan inilah para Nabi dan para Rasul diutus. Termasuk dalam pokok ajaran tersebut; dijanjikannya kehidupan yang abadi di akhirat di surga maupun di neraka, penciptaan jin dan manusia untuk suatu tujuan tertentu, pembalasan amal perbuatan manusia dan azab/siksaan, serta adanya kewajiban mengemban da'wah/risalah Islam dll. Mafhum/ persepsi yang dimaksud di sini ialah mafhum 'ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah SWT) yang lahir dari mafhum uluhiyyah (ketuhanan). Allah SWT berfirman:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

"(Dan) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu " (Adz Dzariyaat: 56)

Jadi, yang dimaksud dalam kalimat syahadat pertama, laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah), adalah tidak ada yang patut disembah kecuali Allah sebab lafadz ilaah menurut pengertian bahasa dan syara' adalah : yang patut disembah. Jadi kalimat laa ilaaha baik menurut ketentuan bahasa ataupun syara' artinya adalah la ma'buuda (tidak ada yang patut isembah). Dan tatkala seorang muslim bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, sesungguhnya dia telah mengesakan Allah dalam penghambaan maupun dalam pensucian, serta menafikan secara pasti penghambaan terhadap selain Allah. Oleh karena itu persaksian seorang muslim meng-haruskan ia untuk hanya beribadah kepada Allah saja, juga mengharuskan ia memba-tasi ibadahnya hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang lain.
Apabila seorang muslim telah memahami persepsi ini, maka akan menjadikannya sangat berhati-hati dalam segala hal yang berkaitan dengan pengaturan urusan kehi-dupannya, maupun yang menyangkut problematikanya; sehingga ia akan menolak untuk mentaati selain Allah, karena ia tidak beribadah kepada selain Allah; juga karena setiap sesuatu yang dituntut untuk ditaatinya selain Allah atau mengajak orang-orang mengikuti selain petunjuk yang berasal dari Allah; atau menjalankan hukum selain dari apa yang diturunkan Allah, semuanya termasuk dalam kategori thaghut yang harus ditentang dan diingkari, bahkan diperang sampai lenyap dari permukaan bumi ini sehingga yang ada hanya syari’at Allah semata.
Oleh karena itu yang menunjukkan adanya 'ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah itu adalah terikat secara sungguh-sungguh dengan hukum-hukum Allah, mengesakanNya dalam tasyri' (pembuatan hukum) juga dalam ketaatan, ketundukan dan pasrah terhadap segala yang diperintahkanNya atau yang dilarangNya. Sebab keterikatan kepada hukum-hukum syara' adalah hasil yang pasti dari keimanan dilihat dari segi mafhum ketuhanan, yang juga merupakan buah/hasil dari penghambaan diri kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhada putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya " (An Nisaâ: 65).

Melalaikan keterikatan terhadap hukum-hukum syara' adalah giliran yang pasti setelah melalaikan mafhum ketuhanan, sebagai akibat dari melupakannya, jarang dipikirkan atau karena pemahamannya telah berubah.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilaksanakan dari selain syari’at/perintah Allah, sesungguhnya merupakan ketundukan dan penyerahan diri untuk mau diatur dengan hukum-hukum thaghut, yang kaum muslimin diperintahkan untuk mengingkari-nya. Jadi siapa saja yang ingin membuat hukum, apapun kedudukannnya -- apakah dia sebagai penguasa maupun aparatnya -- sesungguhnya ia merupakan thaghut yang ingin menjadikan dirinya sebagai Tuhan selain Allah. Allah SWT berfirman:

ألم ترَ الى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أُنزل اليك وما أُنزل من قبلك
يريدون أن يتحاكموا الى الطاغوت وقد أُمِروا أن يكفروا به ويريد
الشيطان أن يضلهم ضلالاً بعيداً .

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya " (An Nisaâ: 60)

إتخذوا أحبارهم ورهبانهم أرباباً من دون الله

"Mereka (Bani Israil) telah menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah " (At Taubah: 31)

Rasulullah telah menjelaskan arti ayat ini sebagai mana tercantum dalam haditsnya "Sesungguhnya mereka telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkannya lalu kaumnya mengikuti mereka, maka itulah bentuk ibadah mereka kepada para pendeta dan rahib itu." (HR. Tirmidzi no. 3095)
Sesungguhnya pengaruh mafhum ketuhanan pada diri kaum muslimin akan dapat mengembalikan posisi dan semangat aqidah Islam sebagai aqidah ruhiyyah (ritual) dan aqidah siyasiyyah (political). Jadi, bukan sekedar aqidah ruhiyah semata, karena pada hakekatnya aqidah ini mampu memancarkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam yang sangat dibutuhkan manusia dalam mengatur kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat, serta mendorong kaum muslimin untuk terikat dengan hukum-hukum Allah, melaksanakan perintah-perintahNya, menjauhi larangan-larangan-Nya, dan melenyapkan setiap undang-undang dan penguasa thaghut.

Read more...

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP