Click here for Myspace Layouts
Powered by Blogger.

Friday, May 14, 2010

METODE MENGUBAH MASYARAKAT

Berdakwah sesuai dengan metode dakwah Rasulullah saw, merupakan suatu keniscayaan. Dalil-dalil qath’iy telah menunjukkan hal tersebut. Pertama, ada perintah untuk selalu mengikuti perilaku Rasul saw. Sebagaimana firman Allah swt,
“Katakanlah; Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.”[Ali Imran:31]
“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambillah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.”[al-Hasyr:7]
Kedua, ada ancaman dari Allah dan RasulNya bagi orang yang tidak menyandarkan amal perbuatannya –termasuk dakwah— kepada perintah Allah dan RasulNya [al-Quran dan sunnah]. Allah swt berfirman, artinya“
“"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau akan ditimpa siksaan yang sangat pedih". (An Nur: 63). Rasulullah saw bersabda, artinya,
“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan kami [Rasul], maka perbuatan itu tertolak.”[HR.Bukhari]
Ketiga,seperti halnya sholat, zakat, puasa, serta ibadah-ibadah lainnya, dakwah merupakan segmen ibadah yang telah ditetapkan tata caranya oleh Allah dan RasulNya. Menciptakan, atau membuat metode dakwah baru yang tidak sesuai dengan metode dakwah Rasul terkategori bid’ah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah, sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah saw, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Perkara yang diada-adakan adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”[HR. Muslim, Kitab al-Jumu’ah]
Demikianlah, berdakwah sesuai dengan metode dakwah Rasulullah merupakan perkara pasti dan tidak perlu didiskusikan lagi.
Lalu, bagaimana metode dakwah Rasulullah saw? Dengan meneliti perjalanan dakwah Rasulullah mulai dari Mekah hingga Madinah [Sirah Nabawiyyah], dengan sudut pandang syar’iy, maka kita bisa memformulasikan bagaimana tatacara dakwah Rasulullah saw.
Selama ini, ada persepsi salah tentang Sirah Rasul. Sebagian kaum muslimin memahami sirah Rasul hanyalah sekedar perjalanan historis Rasulullah saw dan para shahabatnya. Mereka memandang sirah Rasul hanya dari sudut pandang historis, dan tidak memahaminya dengan tinjauan syar’iy. Akibatnya mereka membuat metode dakwah sendiri, dan mengatakan bahwa model dakwah masa Rasul sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, bahkan sebagian mereka menolak sama sekali. Mereka tidak sadar bahwa perbuatan mereka telah melanggar hukum syara’, bahkan telah melahirkan perbuatan bid’ah. Sesungguhnya, perjalanan sirah Rasul merupakan acuan dasar untuk menetapkan hukum-hukum dakwah. Sebab, sirah Rasul merupakan perjalanan dakwah Rasulullah saw dan para shahabatnya yang didasarkan pada tuntunan wahyu dari Allah swt. Dan apa-apa yang dikerjakan Rasul bukan berasal dari hawa nafsunya belaka namun merupakan tuntunan wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla Sebagaimana firman Allah swt,
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan". (An Najm : 1-4).
Demikianlah, dalam ruang lingkup syara’, Rasulullah saw selalu berbuat sesuai tuntunan wahyu. Oleh karena itu, dengan memahami sirah Rasul kita dapat memahami apa yang terkategori thariqah (metode) dakwah dan mana yang terkategori uslub (cara) dakwah.
Kalangan ‘ulama memahami bahwa shirah Nabi SAW berfungsi sebagai penjelas bagi Al Quran yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi para ulama dulu dan kini berbeda pendapat dalam memahami shirah maupun peristiwa-peristiwanya. Pemecahan perbedaan tersebut adalah dengan cara kembali kepada Allah dan RasulNya. Firman Allah SWT; artinya;
Dan apabila ada perselisihan pendapat di antara kalian maka kembalilah kepada Allah (AL Quran) dan RasulNya (Assunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya". (Surat An Nisa' :59).
Meskipun shirah Nabawiyyah dapat menerangkan dan menjelaskan makna-makna al-Quran, akan tetapi shirah dan tahap-tahap dakwah dapat dipahami berdasarkan Al Quran, yaitu dengan mengamati turunnya, dan sebab-sebab turunnya ayat. Dengan memahami hal tersebut kita bisa mengerti dan memahami aktivitas-aktivitas yang pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun resiko beserta kesulitan yang beliau hadapi.
Diantara topik-topik yang dikemukakan oleh Al Quran dalam surat Makkiyyah, kita bisa menentukan apa yang harus disampaikan kepada masyarakat dan cara-cara yang harus ditempuh dalam memimpin umat. Oleh karena itu kita wajib mengamati topik-topik yang dimaksud sebagai suatu bentuk aktivitas dan harus dijadikan sebagai program aksi bagi setiap partai ataupun jama'ah yang bertujuan menyeru kepada Islam. Menjadikan topik-topik tersebut sebagai program aksi adalah suatu kewajiban dan meninggalkannya adalah dosa. Allah SWT berfirman,"
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau akan ditimpa siksaan yang sangat pedih". (An Nur: 63)
Jika kaum muslimin berselisih dalam memahami ayat-ayat dan tujuan-tujuannya, atau mereka berselisih dalam memahami shirah Nabi, serta tujuan-tujuannya, maka sesungguhnya ada perkara-perkara yang qath'i (pasti), yang tidak boleh diperselisihkan apalagi tidak diperhatikan. Perkara yang paling menonjol dan paling penting adalah yang diungkapkan oleh surat-surat Makkiyyah, dimana dari situ kita bisa mengerti dan memahami bentuk dakwah dalam periode Makkiyyah, sikap-sikap Rasulullah pada periode tersebut, serta aktivitas yang diperintahkan kepada beliau. Di antara topik-topik itu adalah :
1 Pemantapan Aqidah Islamiyyah (tatsqif wa al-takwin) ; aqidah sebagai asas perbaikan individu, asas perbaikan masyarakat, dan asas penyelenggaraan negara.
2. Pergulatan pemikiran (shiraa'u al-fikri); membantah hujjah orang-orang kafir dan menyerang pemikiran-pemikiran serta aqidah-aqidah mereka.
3. Perjuangan politik (hifahu al-siyaasi), menentang pembesar dan pemimpin mereka dan membongkar rahasia rencana serta konspirasi mereka.
4. Menyerang hubungan yang rusak di antara anggota masyarakat serta adat istiadat yang telah usang yang mengatur masyarakat mereka.
5. Meneguhkan hati Rasulullah dan orang-orang mukmin dengan kisah-kisah dan janji Allah yang sangat dirindukan berupa kemenangan dan kedudukan di muka bumi.
Inilah sebagian topik yang disentuh dalam Al Quran dalam keterangannya dan dijelaskan oleh Al Quran dalam ayat-ayat dan surat-suratnya dengan perincian yang jelas.
Untuk memperjelas bagaimana cara menggali hukum dakwah dari al-Quran dan shirah Nabawiyyah, maka tabel yang kami susun, mungkin bisa menjelaskan kaedah istinbathnya. Dengan menelusur perilaku dakwah Rasul sebelum berdirinya Daulah Islamiyyah (di Mekah), dan perilaku dakwah Rasul setelah berdirinya Daulah Islamiyyah (di Medinah), kemudian dikaitkan dengan topik-topik ayat yang diturunkan pada dua periode tersebut, lalu setelah dipilah mana yang termasuk thariqah (metode) dan mana yang termasuk uslub (cara), maka kita akan mendapatkan kesimpulan istinbath yang benar dan kuat.



METODE DAKWAH RASULULLAH SAW

FASE SEBELUM DAULAH BERDIRI FASE SETELAH DAULAH BERDIRI
1.FASE PEMBINAAN (Tatsqiif)
-Tahap pembinaan dan pengkaderan untuk melahirkan individu-indvidu yang menyakini fikrah dan thariqah Islam guna membentuk kerangka gerakan.
2.FASE BERINTERAKSI DENGAN MASYARAKAT (Tafaa’ul ma’a al-Ummah)
-Tahap berinteraksi dengan masyarakat agar masyarakat turut memikul kewajiban menerapkan Islam serta menjadikannya sebagai masalah utama. Caranya dengan menggugah kesadaran dan opini umum tentang hukum-hukum dan ide-ide Islam, sehingga mereka menjadikan ide tersebut sebagai pemikiran mereka dan mendorong mereka untuk memperjuangkannya. Ada beberapa aktivitas menonjol pada pada fase ini;
a. Pembinaan Intensif (Tsaqafah Murakazah). Tujuannya adalah memperbanyak dan meningkatkan kualitas pengemban dakwah.
b. Pembinaan Masyarakat (Tatsqiif Jama’iyyah). Menyampaikan ide-ide Islam secara terbuka ke tengah-tengah masyarakat.
c. Pertarungan Pemikiran (Shiraa’ al-Fikr). Menentang pemikiran, ideologi, sistem, aturan yang bertentangan dengan Islam, menjelaskan kepalsuan, bahaya, dan pertentangannya dengan ‘aqidah dan hukum Islam
d. Perjuangan Politik (Kifaah al-Siyasiy). Berjuang menentang makar negara-negara kafir terhadap kaum muslimin, dan membongkar rencana jahat mereka.
e. Tabanni Mashalih al-Ummat (Mengangkat dan menetapkan kemashlahatan umat). DAULAH KHILAFAH BERDIRI
(Terjadi pada Fase III, yakni FASE ISTILAAM AL-HUKMI (Penyerahan Kekuasaan) Setelah Daulah Khilafah al-Islamiyyah berdiri, maka metode dakwah untuk menyebarkan Islam yang paling menonjol adalah jihad memerangi kesyirikan, dan kekafiran di seluruh penjuru dunia. Kemudian menggabungkan negeri-negeri di seluruh dunia ke dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah. Meskipun demikian aktivitas semisal mengoreksi penguasa, amar ma’ruf nahi ‘an al-mungkar, dll tetap dilakukan.
Adapun dalil yang menunjukkan marhalah dakwah Rasulullah saw di atas rinciannya sebagai berikut;
METODE DAKWAH RASUL SAW
Metode dakwah rasul secara ringkas dibagi menjadi tiga fase penting.
1. Fase Pembinaan (marhalah tatsqiif)
2. Fase Berinteraksi dengan Masyarakat (marhalah tafaa’ul ma’a al-ummah)
3. Fase Pengambilalihan Kekuasaan (marhalah istilaam al-hukm) untuk menerapkan Islam secara praktis dan menyeluruh, sekaligus menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Fase pertama dimulai sejak beliau saw diutus menjadi rasul. Ketika turun firman Allah swt, artinya,
“Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan!”[al-Muddatstsir, 1-2], beliau saw mulai mengajak masyarakat untuk memeluk Islam. Beliau mengumpulkan orang-orang yang beriman kepada beliau, mengajari mereka al-Quran, membentuk kepribadian mereka, meski hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah saw pernah mengutus Khubbab bin al-Arats untuk mengajari al-Quran kepada Zaenab binti al-Khathaab dan suaminya, Sa’iid dirumahnya Sa’iid. Bahkan pada suatu saat Zaenab kemudian berhasil mengajak ‘Umar bin Khaththab masuk Islam. Beliau menjadikan Daar al-Arqam sebagai markaz kutlah (kelompok dakwah) dan madrasah bagi dakwah. Di rumah Arqam itulah para shahabat belajar membaca dan memahami al-Quran. Rasul tetap merahasiakan aktivitas dakwahnya, dan terus melakukan upaya-upaya pengkaderan dan pembinaan (tatsqiif) hingga turun firman Allah swt,
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”[al-Hijr:94]
Pada fase awal ini beliau saw berkonsentrasi penuh membina dan mengkader orang-orang yang menerima dakwah beliau di dalam kutlah (kelompok) dakwahnya. Mereka dididik Rasulullah saw dengan ‘aqidah dan ide-ide Islam. Setelah mereka memahami ‘aqidah Islam maka terbentuklah kepribadian Islam yang kokoh.
Meskipun aktivitas ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi masyarakat Mekah mengetahui bahwa Mohammad telah membawa agama baru. Mereka juga mengetahui ada beberapa orang yang beriman kepada Mohammad saw. Kafir Mekah pun tahu bahwa Rasul dan kutlahnya merahasiakan apa yang dilakukan oleh kutlah mereka.
Ketika turun firman Allah swt,
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu), yaitu orang-orang yang menganggap adanya tuhan yang lain disamping Allah, maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya)”[al-Hijr:94-96], maka beliau beralih dari fase sembunyi-sembunyi menuju fase terang-terangan; dari fase mengontak individu-individu tertentu untuk disiapkan menjadi bagian kutlah Rasul menuju fase menyeru kepada masyarakat seluruhnya. Dimulailah benturan antara kekafiran dengan keimanan, dan pertarungan antara pemikiran yang rusak dan bejat melawan pemikiran yang benar dan suci. Di mulailah kemudian FASE KEDUA, yakni fase tafaa’ul wa al-kifaah(interaksi dan pergolakan di tengah-tengah masyarakat) . Pertarungan pemikiran yang terjadi antara Islam dengan kekafiran telah menimbulkan dampak penyiksaan-penyiksaan hebat terhadap Rasulullah saw dan para shahabatnya.
Ayat-ayat yang turun di fase kedua ini banyak menengahkan celaan-celaan terhadap ‘aqidah, sistem, serta adat-istiadat kafir Mekah yang bejat. Dalam masalah ‘aqidah Allah swt berfirman,
“Mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah Yang menciptakan jin-jin itu. Mereka berbohong—dengan mengatakan bahwa Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan—tanpa mendasarkannya pada ilmu pengetahuan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka nisbatkan. (QS al-An‘âm [6]: 100).
“Katakanlah, “Siapakah Tuhan langit dan bumi.”Katakanlah, “Allah.”Katakanlah, “Patutkah kalian menjadikan pelindung-pelindung kalian dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudaharatan bagi diri mereka sendiri?”Katakanlah, “Adakah sama orang yang buta dan yang dapat melihat atau samakah antara keadaan gelap-gulita dan terang-benderang? Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan sesuatu seperti ciptaannya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah, “Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Dialah Allah, Zat Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa.” (QS ar-Ra‘d [13]: 16).
Dalam bidang sosial, Allah Swt. antara lain berfirman:
“Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, merah-padamlah mukanya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburnya dalam tanah. Ketahuilah, alangkah buruknya yang mereka tetapkan itu. (QS an-Nahl [16]: 58-59).
“Janganlah kalian memaksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran—sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian—dengan tujuan untuk meraih keuntungan duniawi. (QS an-Nûr [24]:33).
“Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian hanya karena takut miskin. Kami-lah Yang akan memberikan rezeki kepada kalian dan kepada mereka. Janganlah kalian mendekati perbuatan yang keji, baik secara nyata maupun secara sembunyi-sembunyi. Jangan pula kalian membunuh jiwa yang telah diharamkan oleh Allah, melainkan karena suatu sebab yang dibenarkan. Yang demikian itu diperintahkan oleh Tuhan kalian kepada kalian. (QS al-An‘âm [6]: 151).
Sementara itu, dalam kaitannya dengan masalah ekonomi, Allah Swt. antara lain berfirman:
Apa yang kalian berikan berupa riba untuk tujuan menambah harta-kekayaan manusia tidaklah menambah apa pun di sisi Allah. Sedangkan apa yang kalian berikan berupa zakat yang kalian kehendaki semata-mata karena Allah, maka yang seperti itulah yang dilipatgandakan (pahalanya). (QS ar-Rûm [30]: 39).
“Celakalah orang-orang yang gemar mengurangi timbangan. Mereka itu, apabila menerima takaran dari orang lain, ingin dilebihkan. Sebaliknya, apabila menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka menguranginya. Tidakkah mereka itu yakin bahwa seseungguhnya mereka pasti akan dibangkitkan pada suatu hari yang agung? (QS al-Muthafifîn [83]: 1-5).
“Orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka azab yang amat pedih. Pada hari itu, emas dan perak dipanaskan di dalam neraka jahanam. Dengan itu, dahi, lambung, dan punggung mereka dibakar, (kemudian dikatakan kepada mereka), “Inilah harta-benda yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri. Oleh karena itu, rasakanlah sekarang akibat yang kalian simpan itu!” (QS at-Tawbah [9]: 34-35).
Al-Quran juga telah menyerang habis adat-istiadat yang rusak. Dalam hal ini, Allah Swt. antara lain berfirman:
“Mereka mengatakan, “Binatang dan tanaman yang terlarang ini tidak boleh dimakan, kecuali bagi oang yang kami kehendaki—menurut anggapan mereka.”“Ada binatang ternak yang terlarang untuk ditunggangi dan binatang yang tidak mereka sebut nama Allah sewaktu menyembelihnya, semata-mata untuk membuat kedustaan. Kelak, Allah akan membalas mereka karena apa yang mereka dustakan itu. Mereka juga mengatakan, “Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami.” Akan tetapi, jika yang ada di dalam perut itu dilahirkan dalam keadaan mati, pria dan wanita itu sama-sama tidak memakannya. Kelak, Allah akan membalas mereka. Sesungguhnya Allah Mahabijak dan Mahatahu. (QS al-An‘âm [6]: 138-139).
Allah Swt. juga berfirman:
“Sepasang unta dan sepasang lembu, katakanlah, “Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kalian menyaksikan tatkala Allah menetapkan perkara ini bagi kalian?”
“Lalu, siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa ilmu pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak menunjuki kaum yang zalim. (QS al-An‘âm [6]: 144).
Inilah ayat-ayat yang turun pada fase kedua. Semuanya menunjukkan dengan jelas apa yang dilakukan oleh Rasululah dan para shahabat pada saat itu. Berdasarkan panduan ayat-ayat tersebut, para Rasul dan para shahabat dengan terang-terangan, berani, dan tanpa pantang menyerah menyerang seluruh keyakinan, sistem, adat-istiadat rusak yang ada di Mekah. Ayat-ayat di atas juga menunjukkan bahwa pada fase kedua, ada aktivitas menyerang pemikiran-pemikiran yang sesat dan rusak. Aktivitas tersebut disebut dengan shiraa’ al-fikri (pertarungan pemikiran). Oleh karena itu tidak ada keraguan bahwa ayat-ayat di atas sebagai dalil wajibnya kaum muslimin saat ini melakukan shiraa’ al-fikri, yakni pergulatan melawan seluruh akidah kufur berikut sistem dan pemikirannya. Ash-Shirâ‘ al-fikrî juga berarti pergulatan menentang berbagai akidah yang rusak, pemikiran yang keliru, dan pemahaman yang rancu.
Adapun mengenai kifaah al-siyasiy, yakni perjuangan menantang dan menentang negara-negara kafir imperialis serta mengungkap segala persekongkolan mereka. Al-Kifâh as-siyâsî juga berarti perjuangan menghadapi penguasa negeri-negeri kaum Muslim, mengkritik dan menasihati mereka, serta mengubah mereka agar melaksanakan hukum Islam, dalilnya adalah sebagai berikut;
Abû Mas‘ûd r.a. menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya kelemahan pertama pada Bani Israel adalah ketika seseorang bertemu dengan orang lain dan berkata, “Fulan, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan apa yang sedang kamu kerjakan, sebab hal itu tidak dibolehkan bagimu.” Kemudian orang tersebut bertemu lagi pada keesokan harinya dengan orang yang diajak bicara itu, sementara yang bersangkutan tetap dalam keadaannya seperti sebelumnya. Akan tetapi, orang tersebut tidak melarangnya. Dia malah menjadi teman makan dan minumnya, sekaligus kawan duduknya. Ketika mereka melakukan hal demikian, Allah menghancurkan kalbu-kalbu mereka satu sama lain.” Rasulullah saw. lantas membaca suatu ayat Al-Qur’an Mulia, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Israel dengan lisan Dâwûd dan ‘Isâ putra Maryam. Hal itu disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kalian melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka, dan mereka akan kekal di dalam siksaan-Nya. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi Mûsâ, dan kepada wahyu yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan menjadikan orang-orang musyrik sebagai penolong. Akan tetapi, kebanyakan mereka adalah termasuk orang-orang yang fasik.” (QS al-Mâ’idah [5]: 78-81). Kemudian beliau bersabda, “Jangan begitu. Demi Allah, kalian memilih melakukan amar makruf nahi mungkar—mencegah orang berbuat zalim dan mengembalikannya ke lingkaran yang haq sehingga ia hanya ada dalam lingkaran yang haq saja—atau kalian menghendaki agar Allah kelak menghancurkan kalbu-kalbu kalian satu sama lain, kemudian Dia benar-benar akan melaknat kalian sebagaimana Dia melaknat mereka.” (HR Abû Dâwûd dan At-Turmudzî).
Rasulullah saw. juga bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abû Sa‘îd al-Khudrî, sebagai berikut:
“Jihad yang paling baik adalah ucapan yang haq di hadapan penguasa zalim. (HR Abû Dâwûd dan At-Turmudzî).
Abû Bakar ash-Shiddîq r.a. pernah bertutur sebagai berikut:
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian telah membaca ayat ini: Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian, tiadalah orang yang sesat itu akan memadaratkan kalian apabila kalian telah mendapatkan petunjuk. (QS al-Mâ’idah [5]: 105); Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya apabila seorang manusia melihat manusia lain berbuat zalim, sementara dia tidak mencegahnya, pastilah Allah akan menimpakan hukuman-Nya kepada semuanya. (HR Abû Dâwûd, At-Turmudzî, dan An-Nasâ’î).
Ini adalah dalil tentang perintah untuk melawan kezaliman, khususnya kezaliman para pemimpin dan penguasa, karena mereka adalah para pemuka masyarakat dan di tangan merekalah kekuasaan itu.
Al-Kifâh as-siyâsî (perjuangan politik) juga mencakup upaya membongkar berbagai persekongkolan serta sepak-terjang para penguasa dan pemimpin yang ada di hadapan rakyat. Dengan itu, rakyat akan mengetahui dengan jelas hakikat para penguasa mereka.
Karena faktor inilah, Abû Jahal, Abû Sufyân, Sûfyân ibn ‘Umayyah, ‘Umayyah ibn Khalaf, Wâlid ibn Mughîrah, dan yang lainnya berkumpul di Dâr an-Nadwah untuk merundingkan perilaku Muhammad saw dan dakwahnya yang baru itu, sebelum orang-orang Arab datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Pada saat itu, dakwah Muhammad saw telah menyusahkan mereka, membuat mereka susah tidur, serta mengguncang kepemimpinan mereka atas kaum Quraisy. Oleh karena itu, mereka ingin mengambil satu pendapat yang bisa mendustakan dakwah baru itu dan mendistorsikan pemikiran-pemikirannya.
Setelah melakukan dialog dan diskusi, mereka pun sepakat untuk mendatangi orang-orang Arab yang datang dan memperingatkan mereka agar tidak mendengarkan “ocehan” Muhammad saw. Sebab, Muhammad saw. dianggap memiliki kata-kata yang menyihir; sering mengatakan kata-kata yang dapat memisahkan seseorang dari istrinya, dari keluarganya, dan bahkan dari kaumnya. Akan tetapi, Allah kemudian menyingkapkan persekongkolan ini kepada Rasulullah saw. dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan. Celakalah dia, bagaimana dia menetapkan? Celakalah dia, bagaimanakah dia menetapkan? Kemudian dia memikirkan, lalu dia bermuka masam dan merengut. Dia lantas berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Selanjutnya dia berkata, “(Al-Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.”Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Saqar. (QS al-Mudatstsir [74]: 18-26).
Sebagaimana Al-Quran telah menyingkapkan persekongkolan para penguasa Arab Jahiliah untuk melawan Rasulullah saw. Al-Quran pun menyingkapkan pula persekongkolan para pemimpin kufur dan para wali setan.
Adapun memperhatikan politik luar negeri telah dilakukan oleh Rasulullah saw ketika beliau ada di Mekah. Dalilnya adalah, firman Allah swt, “Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”[al-Ruum; 1-5]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Syihab, berkata, “Kami mendapatkan kaum musyrikin tangah berdebat dengan kamu muslimin. Saat itu mereka masih berada di Mekah dan sebelum Rasulullah melakukan hijrah. Orang-orang musyrik berkata, “Rumawi telah menyatakan dirinya sebagai ahlu kitab, dan sungguh mereka telah dikalahkan oleh Majuzi (Persia). Sedangkan kalian yakin bahwa kalian akan mengalahkan keduanya dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Bagaimana kalian dapat mengalahkan Rowawi dan Majuzi. Kemudian Allah swt menurunkan ““Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi [al-Rum 1-2]. Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin di Mekah, sebelum berdirinya Daulah Islammiyyah telah berdiskusi dengan orang kafir tentang politik internasional serta hubungan-hubungan internasional. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra bertaruh dengan orang-orang musyrikin bahwa kelak Romawi akan dikalahkan. Beliau mengabarkan hal itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menyetujui, bahkan menyuruh Abu Bakar untuk memberitahukan waktunya [kepada orang musyrik]. Dan beliau saw merupakan syaarik (peserikat) bagi dirinya dalam taruhan itu. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kondisi terakhir suatu negara, serta hubungan-hubungan internasionalnya merupakan perkara yang telah diperintahkan kepada kaum muslimin, dan Rasulullah saw telah menetapkan hal ini.
Inilah dalil-dalil tentang kifah siyaasiy yang dahulu pernah ditempuh oleh Rasulullah saw dan para shahabatnya.

DAKWAH KEPADA PEMUKA KABILAH (THALABUN NUSHRAH)
Aktivitas politik lain yang dilakukan oleh Rasulullah saw untuk menegakkan Daulah Islamiyyah adalah mendakwahi kabilah-kabilah. Setelah paman dan isteri beliau saw wafat, maka permusuhan kafir Quraisy kepada Rasulullah saw dan para shahabatnya semakin meningkat, bahkan lebih keras dibanding semasa paman dan isteri beliau saw masih hidup . Bahkan Rasulullah saw,”Orang Quraisy tidak menimpakan satupun keburukan kepadaku sampai wafatnya Abu Thalib. ” Setelah paman dan isteri beliau wafat, beliau pergi ke Tha’if mencari dukungan dari kabilah ini dengan mendatangi para pembesar-pembesar Tha’if. Kemudian beliau menyampaikan agar mereka mau membantu atau memberikan pertolongan kepada Islam, serta melawan kaum Quraisy yang menentang beliau saw. Para pemuka Tha’if menolak permintaan Rasul, dan mereka mengirim surat kepada orang-orang Quraisy padahal Rasulullah saw telah meminta kepada mereka secara rahasia. Akibatnya Rasulullah saw tidak bisa masuk kembali ke Mekah kecuali dengan perlindungan.
Rasul juga menyeru para pemuka kabilah-kabilah Arab. Beliau berkata kepada mereka, “Ya Bani fulan! Saya adalah utusan Allah bagi kalian, dan menyeru kepada kalian untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya, dan agar kalian meninggalkan apa yang kalian sembah, beriman kepadaku dan percaya kepadaku, dan janganlah kalian mencegah aku, sampai aku menjelaskan apa yang telah disampaikan Allah kepadaku.” Akan tetapi paman beliau saw, Abu Lahab, berdiri di belakang beliau, membantah dan mendustakan perkataan beliau saw. Tak satupun kabilah menerima beliau. Mereka bahkan berkata, “Kaummu lebih tahu tentang engkau dan tidak mengikuti engkau.” Mereka membantah dan mendebat beliau, beliau pun membantah dan mendebat mereka, dan mendo’akan mereka kepada Allah. Rasul berdo’a, “Ya Allah, jika Engkau berkehendak, janganlah Kamu jadikan mereka seperti ini.”
Dalam Sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan, “Zuhri menceritakan, bahwa Rasulullah saw mendatangi secara pribadi Bani Kindah, akan tetapi mereka menolak beliau. Beliau juga mendatangi Bani Kalban akan tetapi mereka menolak. Beliau juga mendatangi Bani Hanifah, dan meminta kepada mereka nushrah dan kekuatan, namun tidak ada orang Arab yang lebih keji penolakannya terhadap beliau kecuali Bani Hanifah. Beliau juga mendatangi Bani ‘Aamir bin Sha’sha’ah, mendo’akan mereka kepada Allah, dan meminta kepada mereka secara pribadi. Kemudian berkatalah seorang laki-laki dari mereka yang bernama Baiharah bin Firas, “Demi Allah, seandainya aku mengabulkan pemuda Quraisy ini, sungguh orang Arab akan murka.” Kemudian ia berkata, “Apa pendapatmu, jika kami membai’atmu atas urusan kamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah kami akan diberi kekuasaan setelah engkau? Rasulullah saw berkata kepadanya, “Urusan itu hanyalah milik Allah, yang Ia berikan kepada siapa yang dikehendaki.” Bahirah berkata, “Apakah kami hendak menyerahkan leher-leher kami kepada orang Arab, sedang engkau tidak. Sedangkan jika Allah memenangkan kamu, urusan bukan untuk kami.” Kami tidak butuh urusanmu.”
Adapun nama-nama kabilah yang pernah didatangi Rasulullah saw dan menolak adalah, (1) Banu ‘Aamir bin Sha’sha’ah, (2) Bani Muharib bin Khashfah, (3) Bani Fazaarah, (4) Ghassan, (5) Bani Marah, (6) Bani Hanifah, (7) Bani Sulaim, (8) Bani ‘Abas, (9) Bani Nadlar, (10) Bani Baka’, (11) Bani Kindah, (12) Kalab, (13) Bani Harits bin Ka’ab, (14) Bani ‘Adzrah, (15) Bani Hadlaaramah.

PENERIMAAN MASYARAKAT MADINAH TERHADAP DAKWAH RASUL
Beliau saw selain aktif mendakwahi kabilah-kabilah di Mekah, beliau juga mendakwahi kabilah-kabilah di luar Mekah yang datang tiap tahun ke Mekah, baik untuk berdagang maupun untuk mengunjungi Ka’bah, di jalan-jalan, pasar ‘Ukadz, dan Mina. Diantara orang-orang yang diseru Rasul tersebut ada sekelompok orang-orang Anshor. Kemudian mereka menyatakan beriman kepada Allah dan RasulNya.
Setelah mereka kembali ke Medinah mereka menyebarkan Islam di Medinah. Momentum penting lain sebagai petanda dimulainya babak baru dakwah Rasul adalah Bai’at ‘Aqabah I dan II. Dua peristiwa ini, terutama Bai’at ‘Aqabah II telah mengakhiri Fase Kedua dari dakwah Rasul, yakni Fase Tafa’ul menuju Fase Istilaam al-Hukmi (mengambil alih kekuasaan).

BAI'AH 'AQABAH PERTAMA
Saat tiba musim haji , 12 laki-laki dari penduduk Madinah datang menemui Nabi saw, dan bertemu di 'Aqabah. Mereka lalu membaiat Nabi saw. Peristiwa ini dikenal dengan bai'ah 'aqabah pertama. Mereka berbaiat kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak berlaku syirik, dan tidak bermaksiat. Setelah itu mereka kembali ke Madinah. Bai'at ini dilakukan sebelum Rasulullah saw memerintahkan kepada kaum muslimin melakukan peperangan.
Proses bai'at tersebut diriwayatkan dalam beberapa riwayat shahih. Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Ubadah bin Shamit, berkata, " Kami telah membai'at Rasulullah saw untuk setia, mendengarkan, dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, juga agar kami menegakkan kebenaran atau mengatakan yang haq dimanapun kami berada dan kami tidak takut karena Allah, terhadap celaan orang-orang yang mencela". [HR. Bukhari dari 'Ubadah bin Shamit].

BAI'AH 'AQABAH KEDUA
Setelah peristiwa bai'at Aqabah I, semakin banyak orang yang masuk Islam walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Shahabat yang berjasa dalam mengembangkan Islam di Madinah adalah Mush'ab Bin Umair. Ia berhasil membentuk masyarakat Madinah dengan pemikiran (afkar) dan perasaan (masya'ir) Islamiy.
Berbeda dengan kondisi dakwah di Mekah. Dakwah Rasulullah saw bersama dengan para shahabat sangat kuat, namun masyarakat Mekah belum terpengaruh dengan pemikiran dan perasaan Islam. Sehingga walaupun dakwah Islam di Mekah sangat kuat namun belum mampu untuk membentuk ke arah perubahan masyarakat yang lebih revolusioner, karena pemikiran dan perasaan masyarakat Mekah belum sepenuhnya dipengaruhi oleh pemikiran dan perasaan Islam. Selain itu para pemeluk Islam di Mekah, bukanlah kelompok mayoritas dalam masyarakat, sehingga kaum muslimin terpisah dengan mayoritas masyarakat Mekah. Lain halnya dengan kondisi Islam di Madinah, dimana para pemeluknya adalah mayoritas dari beberapa kelompok masyarakat. Di Madinah, masyarakatnya terpengaruh oleh Islam, baik pemikiran (afkar) dan (perasaan) masya'ir Islam.
Ini menunjukkan dengan jelas bahwa keimanan individu-individu yang terpisah dari masyarakat dan mayoritas masyarakat tidak memberi pengaruh terhadap masyarakat dan mayoritas masyarakat; walaupun individu-individu tersebut memiliki kekuatan.
Adapun mengenai hijrah Rasul dari Mekah ke Madinah bukan semata-mata karena beliau menemukan banyak kesulitan yang menghadang dakwah tanpa beliau bisa bersabar dan tanpa berusaha mengalahkan kesulitan tersebut. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabar selama 10 tahun di Mekah. Bahkan selama itu sikap beliau tidak pernah berubah atau berpaling dari dakwah. Rasulullah saw dan para pengikutnya memang mendapatkan ancaman-ancaman dalam dakwah, namun teror dan kejahatan kaum kafir Quraisy tidak pernah melemahkan perjuangan Rasulullah saw. Penentangan dan perlawanan orang-orang kafir Quraisy sama sekali tidak menggoyahkan beliau dalam berdakwah. Bahkan, perlawanan dan penentangan kaum kafir justru telah menambah keimanan dan keyakinannya akan pertolongan Allah.
Akan tetapi, setelah beliau melihat bahwa masyarakat Mekah sangat yang keras hati, berotak bebal, berjiwa sesat, serta rintangan-rintangan lain yang melemahkan ide-ide dakwah, maka berkonsentrasi melanjutkan dakwah di Makkah akan menghasilkan perjuangan sia-sia. Oleh karena itu, dakwah harus dipindahkan dari masyarakat Mekah ke masyarakat lainnya. Lalu beliau berpikir untuk mengembangkan Islam ke wilayah di luar Mekah. Inilah yang mendorong beliau untuk melakukan hijrah ke Madinah, bukan karena beliau tidak tahan menghadapi siksaan, dan cobaan dakwah di Mekah.
Memang benar, Rasulullah saw. pernah memerintahkan para sahabatnya hijrah ke Habsyi untuk menghindar dari siksaan kafir Quraisy. Ini disebabkan karena hijrah untuk menyelamatkan agama dari fitnah, dibolehkan bagi kaum muslimin, walaupun fitnah tersebut justru akan memantapkan iman, mensucikan jiwa, dan bahkan menghapuskan dosa, memupuk jiwa berkorban, ikhlash, dan keyakinan yang mendalam terhadap pertolongan Allah. Memang benar, iman pada Allah menjadikan seorang mukmin mampu melawan setiap fitnah yang menimpanya. Namun, fitnah dan penganiayaan yang terus-menerus menjadikan seorang mukmin sibuk dengan kesabaran menahan siksaan, tetapi mengesampingkan untuk mengembangkan dan meluaskan berpikir yang lebih luas. Padahal keluasan berpikir itu sangat diperlukan untuk memperluas dan mengembangkan cakupan dakwah. Karena itu, kaum mukminin harus hijrah dari wilayah-wilayah yang banyak fitnah, dan ini terjadi pada hijrah kaum muslimin ke Habasyah.
Sedangkan hijrah kaum muslimin ke Madinah, lebih bermotif untuk melanjutkan proses dakwah risalah Islam ke suatu keadaan yang menjadikan risalah Islam bisa diterapkan dan hidup di tengah-tengah masyarakat, dan untuk menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Nampaknya, motif itulah yang mendorong Rasulullah saw untuk memerintahkan para sahabat agar hijrah ke Madinah, setelah pra kondisi penyiapan masyarakat Madinah telah selesai, dan Islam menjadi opini publik.
Sebelum beliau saw memerintah kaum muslimin hijrah ke Yatsrib (Madinah), beliau saw perlu menyakinkan kesiapan kaum muslimin di Medinah untuk menjaga dakwah, dan loyalitas mereka terhadap Islam. Untuk itu beliau perlu melihat rombongan haji dari Madinah yang hendak ke Mekah, serta kesiapan mereka untuk memberikan sumpah setia mereka untuk membela Islam, yaitu bai'at yang akan menjadi batu pondasi untuk mendirikan Daulah Islam. Dan beliau akhirnya menunggu kedatangan rombongan haji. Itu terjadi pada tahun ke-12 setelah diutus-Nya Rasulullah, bertepatan dengan tahun 622 M.
Rombongan haji yang datang ke Makkah jumlahnya sekitar 75 orang; 73 kaum pria dan dua orang wanita. Dua wanita muslimah adalah Nasibah binti Ka'ab Ummi 'Imarah, salah seorang wanita muslim dari bani Mazin bin al-Najjar dan Asma' binti 'Amru bin 'Adiy, salah seorang bani Salamah. Dia adalah Ummu Muni'. Rasulullah saw. bertemu dengan mereka secara rahasia. Rasulullah saw berbicara kepada mereka pada bai'ah 'aqabah kedua. Pembicaraannya tidak sebatas sabar dalam menghadapi semua gangguan dakwah, tapi juga menjangkau pada semua kekuatan yang memungkinkan mereka mampu mempertahankan kaum muslimin. Bahkan lebih dari itu, baiat 'Aqabah II melahirkan cikal bakal dan pilar inti tertegaknya Daulah Islam, yaitu suatu negara yang akan menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat, dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Beliau saw menyampaikan pokok-pokok tersebut kepada mereka. Setelah beliau saw mengetahui kesiapan dan loyalitas mereka, beliau berjanji kepada mereka untuk bertemu di sebuah bukit di tengah malam pada pertengahan hari tasyriq. Beliau berpesan pada mereka, "Janganlah membiarkan diri kalian tetap tidur dan jangan menunggu sesuatu yang tidak jelas!"
Pada waktu yang telah ditentukan --setelah sepertiga malam pertama telah lewat--, mereka keluar dari kemah-kemah mereka dengan cara sembunyi-sembunyi menuju ke arah bukit yang telah ditetapkan. Lalu mereka mendaki gunung secara berkelompok.. Dua wanita yang bersama mereka juga ikut mendaki gunung. Mereka kemudian menempati bukit sambil menunggu kedatangan Rasulullah saw. Tidak lama kemudian beliau dan pamannya, 'Abbas datang menemui mereka. Ketika itu 'Abbas belum masuk Islam. Dia datang hanya untuk mengawasi dan menjaga keselamatan keponakannya. Dialah orang pertama yang berbicara.
"Hai kaum Khazraj," kata 'Abbas, "Sesungguhnya Muhammad adalah dari golongan kami sebagaimana yang kalian ketahui. Kami telah menjaganya dari ancaman kaum kami. Dia dalam kemuliaan di bawah ancaman kaumnya dan memiliki kekuatan yang menancap di negarinya. Dia tidak suka kecuali meninggalkan [kaumnya] untuk pergi pada kalian dan bergabung dengan kalian. Jika kalian melihat diri kalian mampu menjaminnya dengan apa yang kalian katakan kepadanya dan mampu melindungi dirinya dari orang-orang yang memusuhinya, maka kalian dan apa yang akan kalian bawa menjadi tanggung jawab kalian. Jika kalian melihat diri kalian akan menyerahkan dan menelantarkannya setelah dia keluar dari (kota ini) menuju kalian, maka mulai sekarang tinggalkan dia."
Setelah mendengar pernyataan 'Abbas, rombongan dari Madinah berkata kepadanya, "Kami mendengar apa yang telah kamu katakan." Kemudian mereka berpaling pada Rasulullah saw. "Bicaralah, wahai Rasulullah, lalu ambillah apa yang kamu sukai untuk dirimu dan Tuhanmu," lanjut mereka.
Setelah membacakan Al-Qur'an, berdo'a kepada Allah, dan mendorong kecintaan pada Islam, Rasulullah saw. bersabda, "Saya membai'at kalian untuk melindungi saya sebagaimana kalian melindungi istri-istri dan anak-anak kalian."
Lalu al-Barra' mengulurkan tangan untuk memberikan baiatnya kepada Rasulullah saw. seraya berkata, "Kami membaiatmu, wahai Rasulullah!. Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, kami benar-benar akan melindungi anda sebagaimana kami melindungi keluarga kami dengan kekuatan kami. Maka bai'atlah kami ya Rasulullah! Kami, demi Allah, adalah kaum yang mahir berperang dan ahli memanah yang kami warisi dari nenek moyang kami.
Kemudian tangan Abu al-Haitsam bin al-Tiihan, lalu ia dengan mengatakan, "Ya Rasulullah, di antara kami dan orang-orang Yahudi ada tali perjanjian. Dan Kami adalah pemutus hubungan tersebut. Apakah engkau berharap agar kami melakukan hal itu terhadap mereka, kemudian Allah memenangkan engkau dan engkau kembali ke tengah-tengah kaummu dan meninggalkan (kami)?"
Rasulullah saw itu tersenyum, kemudian bersabda, "Tetapi, darah adalah darah, kehancuran adalah kehancuran! Sesungguhnya Aku dari kalian dan kalian dari aku. Aku akan memerangi orang yang kalian perangi dan berdamai dengan orang yang kalian berdamai dengannya."
Orang-orang Madinah pun memberikan baiat dengan antusias. Namun, 'Abbas bin 'Ubadah segera berdiri dan berkata, "Wahai kaum Khazraj, atas apa laki-laki ini akan membai'at kalian? Mereka menjawab, "Ya. "Sesungguhnya kalian membai'atnya untuk memerangi kaum merah dan hitam dari manusia ini. Jika kalian menganggap kehancuran harta benda kalian sebagai musibah, atau kalian melihat pemuka-pemuka kalian terbunuh, apakah kalian rela menyerahkan Nabi ini kepada mereka (musuh)? Maka dari sekarang, Demi Allah, jika kalian melakukan hal itu adalah bencana dunia danb akherat. Dan apabila kalian menganggap bahwa dengan memenuhi janji kepada dia kalian akan kehilangan harta benda dan kehilangan pemuka-pemuka kalian, maka ambillah dia karena Demi Allah adalah kebaikan dunia dan akherat." Mereka berkata, "Kami akan menjadikan dia di atas harta benda kami dan pemuka-pemuka kami. Maka apakah balasan bagi kami jika kami memenuhi janji kami Ya, Rasulullah?. Beliau saw menjawab, "Surga!"
Mereka pun beramai-ramai mengulurkan tangan, membentangkan tangan, dan menjabat tangan untuk berbaiat seraya berkata, "Kami membaiatmu, ya Rasulullah. Kami akan tetap mendengarkan dan menaatimu meski dalam kesulitan, kemudahan, kedinamisan, kegembiraan, kemalangan, dan musibah yang menimpa kami. Kami tidak akan saling bertikai dalam urusan yang tidak pada tempatnya. Kami akan berkata benar di manapun kami berada. Di dalam Allah, kami tidak takut celaan orang yang mencela."
Selesai mereka mengucapkan baiat, beliau berkata, "Pilihlah kepadaku 12 orang pemimpin di antara kalian agar mereka menjadi penanggung jawab segala urusan di tiap kaum mereka!"
Mereka kemudian memilih sembilan tokoh dari kaum Khazraj dan tiga tokoh dari bani Aus. "Kalian adalah tokoh-tokoh yang bertanggung jawab terhadap kaum kalian tentang apa yang terjadi pada diri mereka," sabda Nabi saw. "Tanggung jawab kalian seperti tanggung jawab kaum Hawariyyin pada 'Isa bin Maryam, sementara aku penanggung jawab kaumku. "Ya, kami paham," jawab mereka.
Setelah selesai melakukan bai'at mereka kembali ke perkemahan mereka, mengemasi barang, dan mulai beranjak meninggalkan Mekah menuju Medinah. Kemudian, Rasulullah saw memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan hijrah ke Medinah.
Orang-orang Quraisy setelah mendengar berita mengenai bai'at, mereka berusaha mencegah hijrah kaum muslimin. Mereka kembali melakukan teror-teror yang mengerikan untuk memaksa mereka untuk tidak melakukan hijrah ke Medinah.
Namun, teror-teror itu tidak mampu mencegah kaum muslimin untuk tetap berhijrah, bahkan hijrah kaum muslimin ke Madinah datang bergelombang. Adapun Rasulullah saw masih berada di Mekah. Saat itu belum bisa dipastikan apakah Rasulullah saw akan turut hijrah ke Medinah atau tidak. Namun apa yang telah beliau ungkapkan kepada Abu Bakar ra, menunjukkan bahwa beliau saw berniat untuk hijrah ke Medinah. Inidikasi ini terlihat saat Abu Bakar ra, sahabat karibnya, meminta izin kepadanya untuk ikut hijrah ke Madinah. Namun Rasulullah saw menjawab, "Jangan terburu-buru! Barangkali Allah akan menjadikanmu orang yang menemani [hijrahku]." Jawaban ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw berkehendak hijrah ke Medinah.
Pada sisi lain, kafir Quraisy sangat khawatir dengan gelombang hijrah ini. Kaum kafir mengetahui bahwa bila gelombang hijrah tidak dicegah, maka Rasulullah saw dan kaum muslimin akan tumbuh menjadi kekuatan yang besar, dimana kaum muslimin yang ada di Medinah menjadi poros kekuatan yang sangat kuat. Bila ini terjadi maka kehancuran kaum kafir Quraisy tinggal menunggu waktu saja. Kafir Quraisy berupaya dengan keras untuk mencegah keberangkatan Rasulullah saw ke Medinah. Namun pada sisi lain, kaum kafir Quraisy juga khawatir jika Rasulullah saw tetap tinggal di Mekah, kaum muslimin yang telah lama merindukan beliau akan kembali ke Mekah, dan akan menjadi kekuatan besar dari Rasulullah saw untuk menghancurkan kekuatan kafir Quraisy. Sampai akhirnya muncul konpsirasi untuk membunuh Rasulullah saw. Dan ini --menurut kaum kafir Quraisy-- adalah cara paling efektif untuk mengantisipasi kekuatan kaum muslimin.
Dengan demikian, terwujudnya kekuatan Islam di Madinah, dan kesiapan masyarakat Madinah untuk menerima Rasulullah saw; atau dengan kata lain kesiapan Medinah untuk menjadi titik konsentrasi dengan terbentuknya Daulah Islam; sebagai motif paling kuat yang mendorong Rasulullah saw melakukan hijrah. Dengan demikian anggapan yang menyatakan bahwa Rasulullah saw melakukan hijrah ke Medinah karena takut ancaman kafir Quraisy yang hendak membunuhnya, adalah anggapan yang salah. Di dalam mengemban dakwah Islam, Rasulullah tidak pernah takut dan bahkan tidak terlintas di benaknya ketakutan akan penderitaan, ancaman kematian. Hijrah beliau saw semata-mata untuk menegakkan institusi negara (Daulah Islam) di Medinah. Adapun rapat kaum kafir Quraisy untuk membunuh Rasulullah saw, disebabkan karena mereka takut bahwa dengan hijrahnya Rasulullah saw ke Medinah, maka kekuatan kaum muslimin semakin kokoh. Oleh karena itu hijrah beliau ke Medinah, didasarkan pada perintah Allah swt, bukan karena takut dengan konspirasi yang hendak membunuh beliau.
Dengan demikian, hijrah merupakan batas pemisah atau tonggak dalam Islam di antara tahapan-tahapan dakwah, yaitu antara mewujudkan Islam secara berkelompok, daulah yang menjalankan pemerintahan Islam, menerapkannya, mendakwahkan Islam dengan hujjah dan bukti, dan dengan kekuatan yang menjaga dakwah ini dari kekuatan kejahatan dan aniaya.
Adapun model dakwah Rasulullah saw tatkala beliau telah berhasil menegakkan Daulah Khilafah, adalah dengan jihad, yakni menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia, dan menghancurkan halangan-halangan fisik yang menghambat laju dakwah. Dimulailah penaklukan-penaklukan negeri-negeri kufur. Jihad melawan negara-negara kafir (kafir harbiy) terus berlangsung hingga masa shahabat, tabi’in, hingga masa-masa kekhilafahan Islam berikutnya. Oleh karena itu, thariqah dakwah setelah berdirinya Daulah Islamiyyah, adalah jihad memerangi orang-orang kafir di seluruh penjuru dunia, hingga tidak ada lagi fitnah di seluruh penjuru dunia ini. Allah swt berfirman, artinya;
“Telah diwajibkan atas kamu berperang, padahal perang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”[al-Baqarah:216]
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka, Demikianlah balasan bagi orang-orang yang kafir.”[al-Baqarah:190]
“Dan perangilan mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang dzalim.”[al-Baqarah:193]

Read more...

BERLAKU ADIL TERHADAP WANITA (Tafsir QS an-Nisa’ [4]: 19)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ يَحِلًّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوْهُنَّ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْراً
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. Janganlah kalian menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Bergaullah kalian dengan mereka secara patut. Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
(QS an-Nisa’ [4]: 19).

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû lâ yahillu lakum an taritsû an-nisâ’a karh[an] (Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa). Menurut jumhur mufassir, yang dimaksud dengan mewarisi wanita adalah mewarisi pernikahan dengannya.1 Pengertian secara lebih jelas dapat ditelisik dari sabab an-nuzûl ayat ini yang—kendati ada beberapa perbedaan ungkapan—semuanya bermuara pada kesimpulan yang sama, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan adat-istiadat yang berlaku pada zaman Jahiliah.2
Pada masa itu, jika ada seorang laki-laki meninggal dunia, para walinya mendatangi istri yang ditinggalkan dan melemparkan kain kepadanya atau ke tendanya. Setelah itu mereka menjadi orang yang paling berhak terhadap wanita itu. Mereka bisa menikahinya tanpa mahar, selain mahar yang telah diberikan suaminya dulu. Bisa juga mereka menikahkannya dengan laki-laki lain, lalu mereka mengambil maharnya; atau mempersulitnya dengan menahannya di rumah, tanpa menikahinya, hingga wanita itu mampu menebus dirinya dengan harta yang diwarisi dari suaminya, atau hingga mati sehingga hartanya bisa mereka warisi. Namun, apabila wanita itu pergi sebelum dilempari kain, maka wanita itu lebih berhak atas dirinya. Tradisi itu berlangsung terus hingga wafatnya Abu Qays bin al-Aslat yang meninggalkan seorang istri bernama Kabisyah binti Ma’n. Anaknya dari istri yang lain melemparkan kain kepada Kabisyah dan mewarisi pernikahan bapaknya. Namun, setelah itu dilakukan, Kabisyah justru ditinggal pergi dan tidak dinafkahi. Ia disakiti agar menebus dirinya. Ia pun mengadukan perkara tersebut kepada Rasulullah saw. Lalu turunlah ayat ini.3
Dengan turunnya ayat ini, praktik mempusakai wanita dilarang secara tegas. Ketentuan hukum ini berlaku dalam semua keadaan, baik wanita yang diwarisi itu merasa ridha atau terpaksa.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Walâ ta’dhulûhunna litadzhabû bi ba‘dhi mâ ataytumûhunna illâ an ya’tîna bi fâhisyah mubayyinah (Janganlah kalian menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata).
Huruf lâ di sini bisa lâ nâhiyah yang memberikan makna larangan, bisa pula nâfiyah mazîdah li ta’kîd an-nafi (nafi tambahan untuk menegaskan makna nafi). Maknanya, perbuatan yang disebutkan berikutnya juga tidak halal.4
Secara bahasa, kata ta’dhulu dari kata al-‘adhl yang bermakna at-tadhyîq wa al-habs (menyusahkan dan menahan).5 Dalam konteks ayat ini, al-‘adhl berarti at-tadhyîq bi al-man‘ min al-tazwîj (menyusahkan dengan cara menghalangi untuk menikah).6 Dengan demikian, ayat ini dapat dipahami sebagai larangan menahan dan menghalangi wanita untuk menikah lagi dalam rangka menyusahkan mereka.
Al-Hasan berpendapat, pihak yang diseru ayat ini adalah para wali mayit. Di zaman Jahiliah, mereka biasa melarang wanita yang ditinggal mati suaminya untuk menikah lagi.7 Sebagaimana dijelaskan di muka, tindakan itu dilakukan agar mereka bisa mewarisi hartanya atau wanita itu memberikan maharnya kepada mereka jika dia hendak menikah lagi.
Menurut Ibnu Abbas, Qatadah, as-Sudi, adh-Dhuhak,8 dan sebagian besar mufassir,9 pihak yang diseru adalah para suami; yakni para suami yang tidak lagi menyukai istrinya dan ingin menceraikannya, lalu mereka mempergaulinya dengan buruk dan menyusahkannya agar mau menebus dirinya dengan mahar yang telah diberikan kepadanya.10 Menurut al-Jashash dan al-Andalusi, pendapat ini lebih kuat. Argumentasinya, orang yang telah memberikan harta kepada wanita adalah suami.11 Demikian juga menurut al-Qurthubi, Ibnu ‘Athiyah, dan asy-Syaukani. Para mufassir itu menyatakan, jika istri melakukan perbuatan keji, yang berhak menahannya hingga dia bisa pergi dengan hartanya menurut Ijma bukanlah wali, namun suaminya.12
Larangan tersebut berlaku selama istri itu tidak melakukan perbuatan fâhisyah mubayyinah (perbuatan keji yang nyata). Secara bahasa fâhisyah berarti al-fi‘lah asy-syanî’ah al-qabîhah (perbuatan yang buruk lagi tercela), sedangkan mubayyinah berarti bayyinah zhâhirah wâdhihah (jelas, nyata, dan gamblang).13
Menurut Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Said bin al-Muasayyab, asy-Sya‘bi, Hasan al-Bashri, dan beberapa mufassirr lainnya, yang dimaksud dengan kata fâhisyah di sini adalah zina.14 Ibnu Abbas (dalam riwayat lain), Ikrimah, dan adh-Dhuhak memaknainya sebagai nusyûz dan maksiat. Ibnu Jarir lebih memilih makna secara umum yang meliputi zina, maksiat, nusyûz, dan semacamnya.15 Itu berarti, jika seorang wanita berzina atau nusyûz, dan terdapat bukti-bukti yang bisa diterima, suaminya berhak meminta kembali mahar yang telah diberikan kepadanya.
Setelah melarang beberapa tindakan zalim yang biasa dilakukan terhadap para wanita, Allah Swt. berfirman: Wa‘âsyirûhunna bi al-ma’rûf (Bergaullah kalian dengan dengan mereka secara patut). Seruan ini ditujukan kepada para suami agar mereka mempergauli istri-istri mereka secara makruf.
Menurut ath-Thabari, yang dimaksud bi al-ma‘rûf adalah dengan segala hal yang diperintahkan syariah dalam mempergauli mereka, yakni dengan menunaikan hak-hak mereka.16 Beberapa mufassir menyatakan bahwa ma‘rûf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan perbuatan.17 Al-Jazairi memaknai ma‘rûf sebagai tindakan yang adil dan ihsân.18 Asy-Syaukani menggarisbawahi, semua itu bisa berbeda-beda, bergantung pada kondisi suaminya; dari segi kekayaan, kemiskinan, ketinggian, dan kerendahannya.19
Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: Fa in karihtumûhunna fa ‘asyâ an akrahû syay[an] wa yaj‘ala Allâh fîh khair[an] katsir[an] (Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka [maka bersabarlah], karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak).
Di akhir ayat ini Allah Swt. mendidik hamba-Nya agar lebih bisa menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya, selain zina dan nusyûz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai itu terdapat sisi-sisi kebaikan.

Berlaku Adil Terhadap Wanita
Ayat ini merupakan salah satu dari upaya Islam melenyapkan semua bentuk kezaliman terhadap wanita, seraya mengembalikan semua yang menjadi hak-haknya. Tradisi yang memperlakukan wanita layaknya harta benda yang dapat diwarisi dihapus. Tindakan yang memeras mereka dan mengebiri hak-hak mereka dengan cara menghalangi mereka meminta cerai dan mencari suami lain—padahal ia tak lagi dipergauli secara baik—juga dilarang.
Islam telah menetapkan suami-istri sebagai sahabat yang saling mengisi dan mengasihi. Masing-masing diberi sejumlah hak dan kewajiban. Ayat ini memerintah para suami agar mempergauli istri-istri mereka secara makruf. Allah Swt. berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 228).

Bagi suami, berlaku baik terhadap istri harus menjadi catatan penting. Sebab, Rasulullah saw. menjadikan perlakuan baik terhadap istri sebagai pertanda kebaikan seseorang. Rasulullah saw. bersabda:
«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِيْ»
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku. (HR al-Hakim dan Ibnu Hibban).

Rasulullah saw. adalah teladan sempurna bagi setiap suami yang ingin mempergauli istrinya dengan baik. Beliau menggilir istri-istrinya di setiap malam dengan adil, memberi mereka nafkah, bersikap lemah-lembut kepada mereka, memuliakan mereka, dan sabar terhadap kemarahan mereka. Kecemburuan dan percekcokan di antara istri-istrinya dihadapi dengan tenang. Tak kalah pentingnya, beliau senantiasa mendidik istri-istrinya sehingga menjadi wanita utama.
Ayat ini juga mengajak hamba-Nya untuk belajar bersabar dalam menghadapi sesuatu yang tidak disenangi pada istrinya. Ketika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya tidak lantas suami bersegera menceraikannya.
Semestinya suami harus berpikir lebih jernih, tidak adakah sisi-sisi lain yang dia sukai pada istrinya? Jika dia mengambil keputusan cerai dan mencari istri baru, adakah jaminan istrinya yang baru terbebas dari perkara yang tidak dia sukai? Bagaimana jika istri berikutnya juga terdapat sejumlah perkara yang tidak dia sukai, apakah dia juga akan menceraikannya? Jika itu dilakukan, betapa sering dia harus berganti-ganti istri untuk menemukan istri yang bisa memuaskan segala sisinya.
Suami yang menuntut istrinya tanpa cacat selayaknya juga harus berkaca. Apakah dia telah menjadi suami sempurna yang bisa memuaskan istrinya di segala sisinya? Jika tidak, mengapa dia harus menuntut sesuatu yang ia sendiri tidak bisa melakukannya? Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً وَإِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا بِآخَرَ»
Janganlah seorang Mukmin membenci istrinya yang Mukminah. Jika dia tidak menyukai suatu perangainya, niscaya dia meridhai perangainya yang lain. (HR Muslim).

Melalui ayat ini, keadilan Islam tehadap wanita tergambar jelas. Islam menjaga kehomatannya, mengangkat martabatnya, dan melindungi hak-haknya. Kelemahan pada diri wanita tidak boleh dijadikan sebagai peluang bagi siapapun untuk berbuat aniaya terhadapnya. Adakah ideologi dan sistem kehidupan yang lebih adil daripadanya?
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb

Read more...

MEMBANGUN KELUARGA IDEOLOGIS Oleh Nurfaizah dan Najmah

Musuh-musuh Islam memang tidak menghendaki kaum Muslim berpegang teguh pada Islam secara utuh. Mereka tidak akan pernah tinggal diam terhadap upaya kaum Muslim untuk menegakkan syariat Islam. Mereka berusaha keras untuk memisahkan kaum Muslim dari syariat Islam. Mereka terus berupaya mengaburkan syariat Islam dan mengikis sedikit demi sedikit syariat Islam dari kehidupan kaum Muslim.
Ternyata usaha mereka berhasil. Sedikit demi sedikit syariat Islam ditinggalkan oleh umatnya sehingga yang tersisa hanyalah aturan yang terkait dengan ibadah ritual dan keluarga. Namun, tidak berhenti sampai di sana, mereka pun terus berupaya untuk merusak hukum-hukum keluarga dalam rangka merusak tatanan kehidupan keluarga Muslim yang masih tersisa.

Berawal dari Feminisme
Munculnya feminisme tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang sejarah perjuangan kaum perempuan Barat menuntut kebebasannya. Karena pada abad Pertengahan kaum perempuan tidak memiliki tempat ditengah masyarakat, maka mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu pun, dan tidak boleh mengurus apapun. Sejarah Barat dianggap tidak memihak kaum perempuan. Dalam masyarakat feodalis (di Eropa hingga abad ke-18), dominasi mitologi filsafat dan teologi gereja sarat dengan pelecehan feminitas; wanita diposisikan sebagai sesuatu yang rendah, yaitu dianggap sebagai sumber godaan dan kejahatan.
Kemudian muncul renaisance, yang berintikan semangat pemberontakan terhadap dominasi gereja, kemudian diikuti dengan Revolusi Prancis dan Revolusi Industri. Inilah puncak reaksi masyarakat terhadap dominasi kaum feodal yang cenderung korup dan menindas rakyat, di bawah legitimasi gereja. Inilah pula awal proses liberalisasi dan demokratisasi kehidupan di Barat. Perubahan ini tidak hanya berpengaruh pada berubahnya sistem feodal menjadi sistem kapitalis sekular, tetapi ikut menginspirasikan kaum perempuan untuk bangkit memperjuangkan hak-haknya.
Kondisi ini dipermudah dengan seruan kaum kapitalis sebagai golongan pemilik kapital yang mendorong kaum perempuan bekerja di luar rumah. Ketika kaum perempuan bekerja di luar rumah, mereka merasa terasing dengan kondisi seperti ini. Mereka berurusan dengan pabrik-pabrik, pusat-pusat bisnis, dan dengan kaum lelaki sebagai pihak yang dianggap bertentangan dengan kepentingannya. Akhirnya, mereka bersaing dengan laki-laki dan berusaha merebut posisi kaum laki-laki untuk memperoleh kebebasan mutlak agar terlepas dari segala macam ikatan dan nilai serta tradisi. Kaum perempuan mulai menuntut persamaan secara mutlak dengan kaum laki-laki termasuk, dalam urusan kebebasan hubungan seksual tanpa perkawinan.
Musuh-musuh Islam berupaya untuk mentransfer kebobrokan perilaku masyarakat semacam ini ke Dunia Islam untuk menghancurkan sistem keluarga Islam dan menggantinya dengan perilaku yang sama dengan mereka. Menyebarnya ide feminisme di Dunia Islam didorong oleh banyaknya permasalahan yang dihadapi kaum perempuan, termasuk di yang ada di negeri-negeri Muslim. Kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan/diskriminasi sering disebut-sebut sebagai permasalahan krusial yang dialami perempuan dari masa ke masa.
Dari fakta tersebut, muncullah berbagai tuntutan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Pasalnya, perubahan masyarakat dari sistem feodal menjadi sistem kapitalis ternyata tidak serta-merta mengubah nasib kaum perempuan menjadi lebih baik. Bahkan dengan sistem kapitalis ini, nasib kaum perempuan semakin terpuruk. Kemiskinan struktural yang terjadi mengharuskan mereka ikut berperan dalam menopang ekonomi keluarga. Pada saat yang sama, mereka harus berperan dalam sektor domestiknya. Inilah yang menurut kalangan feminis dianggap sebagai sebuah ketimpangan, ketidakadilan, atau disparitas jender.
Untuk itu, salah satu perjuangan dari kaum feminis radikal adalah menyerang dan menolak institusi keluarga dan sistem patriakhal yang dalam pandangan mereka merupakan simbol dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan. Feminisme berupaya mengubah struktur pembagian tugas kehidupan menjadi kebebasan menentukan tugas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan bisa memilih menjadi ibu, ayah, keduanya sekaligus, atau tidak sama sekali. Sebaliknya, seorang laki-laki bisa menjadi seorang 'ibu', ayah, keduanya sekaligus atau tidak sama sekali; tanpa ada batasan; tidak ada tolok ukur dan standar yang pasti.
Ukuran nilai dan kemaslahatan dikembalikan kepada masing-masing orang. Caranya adalah dengan mengubah tata nilai patriarkal di tengah masyarakat-seperti nilai kepatuhan, penderitaan tanpa protes, dan submissin (mental bawahan). Lalau konsep jender pun akan berubah. Pada akhirnya, pembagian peran pun akan berubah sehingga terwujud persamaan dan kesetaraan di tengah keluarga dan masyarakat. Itulah yang disebut dengan masyarakat ideal dalam kacamata kaum feminis, yaitu sebuah masyarakat yang berkesetaraan jender; laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam semua aktivitas-aktivitas di semua level (domestik atau publik) dan tidak mendapat halangan untuk menikmati hasil-hasilnya.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Apa yang dihasilkan oleh feminisme telah membawa dampak buruk. Fakta menunjukkan, bahwa pengaruh feminisme sekular telah membawa kerusakan bagi tatanan fungsi dan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus mengakibatkan hancurnya tatanan sosial masyarakat secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena kebebasan yang ditawarkan feminisme berakibat pada runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, fenomena un web dan no-mar, merebaknya free sex, meningkatnya kasus aborsi, dilema wanita karir, sindrom cinderella complex, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain. Walhasil yang terbentuk tentu saja bukan masyarakat yang kokoh, tetapi sebuah masyarakat yang penuh dengan konflik yang tidak memberikan ketenangan dan kepastian, karena berbagai penyimpangan banyak terjadi di dalamnya.

Membangun Keluarga Ideologis
Motivasi awal yang benar merupakan pondasi untuk membangun kehidupan rumahtangga yang kokoh. Dalam hal ini, Islam menetapkan bahwa motivasi seseorang melangsungkan kehidupan suami-istri adalah untuk melaksanakan salah satu dari bentuk ibadah kita kepada Allah Swt. Kehidupan pernikahan adalah kehidupan persahabatan antara seorang suami dan istrinya. Suami menjadi sahabat bagi istrinya dan istri menjadi sahabat bagi suaminya secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan. Allah telah menjadikan pernikahan sebagai tempat ketenangan bagi pasangan suami-istri, sebagaimana firman-Nya:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakan-Nya untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri—supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya—dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS ar-Rum [30]: 21).

Bagaimana kita dapat membentuk keluarga yang sesuai dengan tuntunan Allah Swt., yakni sebuah keluarga yang berbasiskan ideologi Islam?
Pertama, pondasi dasar dari pernikahan tersebut adalah akidah Islam bukan manfaat ataupun kepentingan. Dengan menjadikan Islam sebagai landasan, maka segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga tersebut dikembalikan pada Islam semata.
Kedua, adanya visi dan misi yang sama antara suami-istri tentang hakikat dan tujuan hidup dan berkeluarga dalam Islam.
Ketiga, memahami dengan benar fungsi dan kedudukan masing-masing dalam keluarga dan berupaya semaksimal mungkin menjalankannya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Keempat, menjadikan Islam dan syariatnya sebagai solusi terhadap seluruh permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berkeluarganya. Halal-haram dijadikan landasan dalam berbuat, bukan hawa nafsu.
Kelima, menumbuhsuburkan amar makruf nahi mungkar di antara sesama anggota keluarga sehingga seluruh anggota keluarga senantiasa berjalan pada rel Islam.
Keenam, menghiasi rumah dengan membiasakan melakukan amalan-amalan sunnah, seperti membaca al-Quran, bersedekah, mengerjakan shalat sunnah, dan sebagainya.
Ketujuh, senantiasa memanjatkan doa kepada Allah dan bersabar dalam situasi apapun.

Peran Penting Keluarga
Itulah bangunan dasar untuk membentuk keluarga yang kokoh dan ideologis. Lebih dari itu, bangunan keluarga tersebut akan mencapai kekuatan yang hakiki jika berhasil berpengaruh di tengah-tengah lingkungannya, karena keluarga memiliki peran yang penting dalam pembentukan sebuah masyarakat. Keluarga adalah pranata awal pendidikan primer bagi seorang manusia. Jika keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan sendi-sendi pendidikan yang fundamental, maka keluarga adalah pemberi pengaruh pertama.
Keluarga memiliki peran strategis dalam proses pendidikan anak, bahkan umat manusia. Keluarga lebih kuat pengaruhnya dari sendi-sendi yang lain. Sejak awal masa kehidupannya, seorang manusia lebih banyak mendapatkan pengaruh dari keluarga. Sebab, waktu yang dihabiskan di keluarga lebih banyak daripada di tempat-tempat lain.
Pada hakikatnya pendidikan di dalam keluarga merupakan pendidikan sepanjang hayat. Pembinaan dan pengembangan kepribadian serta penguasaan tsaqâfah Islam dilakukan melalui pengalaman hidup sehari-hari dan dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di keluarga, terutama ibu dan bapaknya.
Begitu pentingnya pembinaan dan pendidikan di dalam keluarga, pendidikan anak sejak dini dalam keluarga akan tertanam secara kuat di dalam diri seorang anak. Sebab, pengalaman hidup pada masa-masa awal umur manusia akan membentuk ciri-ciri khas, baik dalam tubuh maupun pemikiran, yang bisa jadi tidak ada yang dapat mengubahnya sesudah masa itu.
Untuk itu, keluarga secara langsung ataupun tidak turut mempengaruhi jatidiri sebuah masyarakat. Dari keluargalah muncul generasi manusia yang bermartabat, memiliki rasa kasih sayang, dan saling tolong-menolong di antara mereka. Dengan begitu, akan terciptalah tatanan kehidupan masyarakat yang kuat, yang didukung keluarga-keluarga yang harmonis dan berkasih sayang, karena memiliki pemikiran ideologis sebagai pondasinya.

Kebutuhan Sistem Politik yang Kondusif
Akhirnya, hal penting lainnya yang tidak bisa kita abaikan dalam pembentukan keluarga yang kuat dan ideologis adalah peran sistem yang mendukung hal tersebut. Sebab, bagaimanapun kuatnya kita memproteksi keluarga dengan ide-ide Islam dan pembinaan yang intensif kepada anak-anak dan anggota keluarga lainnya, apabila sistem yang berlaku di tengah kehidupan keluarga itu tidak menggunakan aturan-aturan Islam, maka sulit bagi bangunan keluarga yang kokoh itu bisa bertahan. Sebab, gempuran dari luar akan senantiasa menghadang, baik itu berupa pemikiran-pemikiran yang bertentangan yang bisa mempengaruhi tingkah laku dan moral anggota keluarga maupun rintangan berupa kesulitan ekonomi yang berdampak pada sulitnya pemenuhan kebutuhan fisik dan non-fisik anggota keluarga. Dari sinilah biasanya muncul tindak kriminalitas dan penyimpangan sosial lainnya.
Untuk itu, penataan kehidupan yang benar berkaitan dengan semua urusan masyarakat sangat diperlukan. Dengan sistem politik Islamlah semua ini bisa terwujud.
Sistem politik Islam memiliki kemampuan untuk memberikan solusi atas semua persoalan, baik menyangkut persoalan individu, keluarga, maupun masyarakat. Sistem Islam mampu membendung serangan musuh-musuh Islam ke tengah-tengah kaum Muslim dan menjaga masyarakat agar tetap dalam keimanan dan tatanan yang sesuai dengan aturan Islam. Hal ini dilakukan dengan cara penerapan aturan-aturan Islam yang komprehensif. Sebab, sistem politik Islam itu sendiri intinya adalah bagaimana menciptakan pengaturan urusan masyarakat sesusai dengan tuntunan syariat Islam hingga tercipta tatanan masyarakat yang baik, damai, dan sejahtera; yang dipenuhi dengan ampunan dan keridhaan Allah Swt.

Membendung Penghancuran Keluarga Muslim
Untuk membendung upaya penghancuran keluarga Muslim dan Islam pada umumnya, maka kaum Muslim secara bersama-sama dituntut untuk memiliki kesadaran dalam memahami Islam secara menyeluruh dari segala aspeknya. Dengan begitu, kaum Muslim akan mampu mencermati dan mengantisipasi bahaya ide-ide asing yang bertentangan dengan Islam seperti feminisme, kesetaraan jender, emansipasi, liberalisme, dan sebagainya. Pemahaman Islam seperti ini bisa kita peroleh dengan cara membina diri kita dan kaum Muslim secara terus-menerus dengan tsaqâfah Islam. Tsaqâfah Islam tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan atau pijakan dalam menyikapi berbagai pemikiran dan pemahaman asing yang menyerang. Hal ini harus dibarengi dengan senantiasa mengikuti berita dan fakta-fakta yang berkembang, kemudian menyikapinya dan memberikan solusi sesuai dengan Islam.
Selain itu, penting untuk melibatkan diri secara aktif dalam upaya menyebarkan ide-ide Islam tersebut ke tengah-tengah masyarakat. Sebab, membentuk keluarga yang kokoh tidak cukup dilakukan oleh individu di dalam sebuah keluarga semata. Akan tetapi, hal itu juga harus ditempuh secara politis, sistimatis, dan ideologis dalam suatu gerakan yang terorganisasi secara rapi. Sebab, kaum feminis pun, dalam menghancurkan keluarga Muslim, melakukannya bukan hanya sebatas aktivitas penyebaran ide secara individual semata, tetapi melalui sebuah gerakan yang memiliki kekuatan besar dan didukung oleh ideologi tertentu (kapitalis sekular) di belakangnya.
Oleh karena itu, yang perlu menjadi agenda kaum Muslim saat ini untuk membendung upaya penghancuran keluarga Muslim adalah bagaimana menghadirkan Islam dengan pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh dalam pengaturan umat secara nyata, baik dalam tingkat individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. Dengan begtiu, kaum Muslim bisa keluar dari keterpurukannya dan sekaligus bangkit kembali sebagai umat terbaik (khayr al-ummah), yang tegak di atas keluarga-keluarga yang kuat.

Read more...

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP