Click here for Myspace Layouts
Powered by Blogger.

Friday, May 21, 2010

TANPA ISLAM, TAK AKAN ADA PERUBAHAN MENDASAR


Perubahan. Itulah janji yang dilontarkan oleh tim capres SBY-Kalla dalam kampanye kemarin. Isu ini ternyata cukup jitu. Terbukti, SBY-Kalla terpilih. Tampaknya rakyat memang sudah bosan dengan kondisi yang ada dan menginginkan perubahan yang nyata. Akan tetapi, bisakah kita mengharapkan perubahan hanya dengan menyandarkan pada sosok individu SBY-Kalla?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, satu hal yang harus lebih dulu kita persoalkan adalah apa sebenarnya yang menjadi penyakit dari berbagai krisis di Indonesia.
Berharap pada individu yang baik itu tepat kalau sistem atau aturan kehidupannya sudah bagus. Dalam sistem yang sudah bagus, individu yang baik akan menjadi inspirasi dan motor penggerak untuk menjalankan sistem yang bagus tersebut. Namun, jika sistemnya belum tepat dan sahih, inspirasi dan kebaikan dari individu tidaklah cukup untuk membawa perbaikan. Lihat saja, misalnya, kasus korupsi di Indonesia yang secara sistemik memang akut. Adanya orang-orang baik paling banter hanya sebatas tidak menerima atau mengembalikan uang korupsi tersebut, tidak sampai menghentikan korupsi massal itu sendiri. Terbukti, penolakan beberapa orang-orang baik terhadap uang korupsi tidak secara otomatis menjadikan korupsi itu kemudian terhenti.
Kejahatan atau kriminalitas pada dasarnya disebabkan oleh dua hal: niat untuk berbuat jahat dan kesempatan berbuat jahat. Sistem yang buruk dan tidak benar telah memberikan kesempatan yang luas bagi orang untuk berbuat jahat. Bahkan orang yang tadinya tidak berniat berbuat jahat pun, dalam sistem yang bobrok, besar kemungkinan akan terjerumus ke dalam perbuatan jahat. Sebaliknya, sistem yang baik akan menyempitkan kesempatan orang-orang untuk berbuat jahat. Yang berniat buruk pun akan tercegah. Sebab, sistem yang baik tersebut akan secara sistematis menghentikan niat jahat orang tersebut.
Sangat logis kalau Rasulullah saw., dalam perjuangannya, melakukan perubahan masyarakat tidak sebatas melakukan perubahan individu, atau menunggu semua penduduk individu Makkah untuk baik. Sebab, Rasululah saw. tahu persis, kerusakan yang terjadi pada masyarakat Makkah adalah bersifat sistemik: menyangkut pandangan hidup masyarakat (akidah) dan aturan-aturan kehidupan mereka. Karena itu, Rasulullah saw. dalam dakwahnya berupaya mengubah akidah yang keliru yang diadopsi oleh masyarakat dan mengkritisi aturan-aturan Jahiliah yang mengatur kehidupan mereka.
Namun, bukan berarti perubahan yang mendasar untuk menyelesaikan krisis masyarakat tidak membutuhkan orang-orang yang baik. Perubahan jelas membutuhkan individu-individu yang terbina pola pikir ('aqliyyah) maupun pola jiwa (nafsiyyah)-nya. Akan tetapi, perubahan bukan berarti menunggu setiap individu baik dulu, dengan alasan, individu yang baik otomatis akan mengubah sistem; atau cukup dengan mengangkat persoalan-persoalan individual sambil berharap terjadi perubahan sistem secara otomatis.
Perubahan mendasar sesungguhnya—di samping membutuhkan beberapa (bukan seluruh masyarakat) orang baik yang menjadi kader—juga memerlukan upaya membangun kesadaran umum di tengah-tengah masyarakat sampai terbentuk opini umum yang mendukung terjadinya perubahan serta dukungan elit politik berpengaruh. Dengan itulah akan terbentuk sistem yang baik. Sistem yang baik inilah yang akan membentuk dan menjaga setiap individu masyarakat.
Rasulullah saw. memang membentuk individu-individu yang salih, yang menjadi kader-kader perubahan. Mereka digembleng dengan Islam sehingga memiliki kepribadian islami (syakhsiyyah islâmiyyah). Namun, bukan berarti dalam dakwahnya Rasulullah saw. menunggu individu-individu Makkah berubah dulu semuanya menjadi baik. Bahkan sebelum mayoritas penduduk Makkah menerima Islam, Rasulullah saw. sudah menyampaikan dakwahnya kepada orang-orang di luar Makkah seperti penduduk Thaif dan Madinah.
Rasulullah saw. juga tidak berhenti pada pembahasan individu, tetapi juga dengan berani mengkritik pandangan hidup dan aturan kehidupan masyarakat yang rusak, yang diadopsi oleh masyarakat Makkah. Beliau mengkritik kebiasan buruk perdagangan di Makkah yang penuh dengan tipudaya, tradisi melecehkan anak wanita dengan membunuhnya, serta ketidakhirauan mereka terhadap anak yatim dan orang-orang miskin. Wajar jika kemudian masyarakat Makkah bereaksi keras terhadap dakwah Rasulullah saw.

Perubahan: Harus Dimulai dari Sistem
Apa yang terjadi saat ini di tubuh umat adalah persoalan sistemik meliputi pandangan hidup yang menjadi asas kehidupan masyarakat dan aturan kehidupan yang diterapkan di tengah-tengah mereka. Saat ini akidah Islam tidak lagi menjadi asas kehidupan masyarakat. Memang, secara individual, kaum Muslim masih berakidah Islam. Akan tetapi, akidah Islam hanya menjadi asas dalam kehidupan individual kaum Muslim seperti shalat, shaum, zakat, dan ibadah ritual lainnya; belum menjadi asas dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, yang menjadi asas kehidupan adalah ideologi sekularisme. Buktinya, asas negara bukanlah akidah Islam, kedaulatan untuk membuat hukum pun diserahkan kepada manusia. Dari asas sekular ini kemudian muncul aturan-aturan kehidupan yang juga sekular. Secara umum, aturan ekonomi, politik, pendidikan, peradilan, didasarkan pada sistem sekular, bukan hukum-hukum Islam. Artinya, persoalan sekarang ini adalah persoalan sistemik, bukan sekadar persoalan individual.
Selama asas kehidupan negara masih sekularisme dan aturan kehidupan Indonesia juga masih sekular, jangan berharap terjadi perubahan mendasar. Sebab, sistem sekular inilah yang justru menjadi pangkal dari berbagai persoalan rakyat Indonesia saat ini. Asas negara yang sekular telah mengebiri hukum-hukum Islam menjadi sebatas persoalan individual, moralitas, dan ritual ibadah. Kalaupun ada pengadilan agama, ya sebatas mengurus nikah dan talak, plus waris, itupun sekadar pilihan. Itu pun masih dipersoalkan oleh sebagian kalangan, terutama kaum Islam Liberal. Akibatnya, Islam sebagai solusi menjadi tidak fungsional.
Pandangan hidup yang sekular ini juga telah merusak asas ketakwaan yang seharusnya dimiliki oleh para pejabat negara. Wajar kalau kemudian rasa takut para pejabat negara kepada Allah Swt. untuk bermaksiat menjadi hilang. Korupsi merajalela. Penguasa juga tidak lagi takut melantarkan rakyatnya dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan mereka seperi: menggusur rumah rakyat, menaikkan tarif kesehatan dan pendidikan, mencabut subsidi BBM, dll.
Lebih dari itu, pandangan hidup sekular ini telah menjadikan kerakusan terhadap materi (harta) dan kekuasaan menjadi tujuan hidup. Dalam kondisi seperti ini, naiknya gaji juga tidak akan banyak membawa perubahan. Penguasa yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat berubah menjadi pemeras masyarakat untuk mengumpulkan kekayaan pribadi sebanyak-banyaknya.
Demikian pula, seandainya tidak ada perubahan aturan-aturan kehidupan bernegara, jangan berharap terjadi perubahan. Inilah yang tampaknya terjadi pada pemerintahan baru ini. Dipilihnya menteri-menteri yang dikenal pro IMF menunjukkan tidak ada keinginan kuat dari penguasa baru untuk mengubah kebijakan ekonomi yang selama ini bergantung pada IMF. Artinya, kebijakan-kebijakan ekonomi ke depan kelihatannya tetap menggunakan standar Kapitalisme, yang justru sebenarnya telah menyebabkan penderitaan rakyat. Beban utang luar negeri yang tinggi, dicabutnya berbagai subsidi, dan privatisasi BUMN tampaknya akan tetap berlangsung. Padahal, sudah banyak diketahui bahwa kebijakan-kebijakan ala Kapitalisme inilah yang justru telah memiskinkan rakyat.
Kondisi perpolitikan juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya selama asasnya tetap sekular. Sistem demokrasi yang dibanggakan tidak lebih merupakan eksploitasi para elit politik atas rakyat, justru untuk kepentingan mereka. Paradigma politik yang didasarkan pada upaya mempertahankan dan merebut kekuasaan telah melahirkan sikap kompromistis para penguasa dan wakil rakyat.
Apa yang terjadi pada awal pembentukan DPR baru kemarin, yaitu ketika terjadi perseteruan antara Koalisi Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan, mengindikasikan hal ini. Rebutan jabatan komisi di DPR tidaklah berhubungan dengan kepentingan rakyat. Itu tidak lebih dari upaya membangun bergaining power di antara mereka sendiri. Diperkirakan, politik uang masih akan berlangsung di DPR. Sudah menjadi rahasia umum kalau pengesahan RUU menjadi proyek pribadi para wakil rakyat dan penguasa untuk mencari uang. Kita tentu ingat tercecernya kuitansi dan cek di DPR sebelumnya. Kondisi ini tidak akan jauh berbeda. Apalagi kalau kekuasaan dianggap sebagai lahan bisnis. Akibatnya, kekuasaan bukan dimaksudkan untuk mengurus rakyat, tetapi untuk 'menguras' rakyat.
Berpolitik dijadikan alat untuk mengembalikan modal politik selama kampanye dan meraih keuntungan dari uang yang selama ini telah dikeluarkan. Kalau masih seperti ini, DPR tetap akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak kepada pemilik modal.

Hanya Dinul Islam sebagai Solusi
Tidakkah kita cukup menderita selama lebih dari 50 tahun di bawah sistem sekular? Sudah berapa kali terjadi pergantian kepada negara? Semuanya menjanjikan perubahan. Mereka pun lengkap dengan para menteri, dengan solusi-solusi kapitalisnya. Janji demi janji pun telah berulang diucapkan. Apakah berhasil? Tidak!
Sudah berapa pakar ekonomi kapitalis yang mengurus ekonomi rakyat? Mereka semuanya sangat pakar, banyak yang lulusan luar negeri, tetapi ternyata mereka tidak mampu memberikan solusi bagi rakyat.
IMF sudah turun tangan. Organ utama Kapitalisme ini bahkan membuat kebijakan-kebijakan yang sangat rinci terhadap ekonomi Indonesia. Toh ia juga gagal, bahkan membuat krisis semakin menjadi-jadi. Lalu masihkan kita berharap pada sistem kapitalis seperti ini?
Saatnyalah kita kembali pada Dinul Islam sebagai solusi kehidupan kita. Dinul Islam yang bersumber dari wahyu Allah adalah sistem sempurna karena bersumber dari Zat Yang Mahasempurna, Allah Swt. Dialah Yang menciptakan manusia dan paling tahu tentang apa yang terbaik untuk manusia. Sayang, kita justru telah mencampakkan Dinul Islam ini, dengan menggantinya dengan aturan hidup kapitalis yang berasal dari penjajah.
Dicampakkannya aturan Islam, terutama dalam masalah publik, inilah yang telah menyebabkan penderitaan rakyat. Allah Swt. telah mengingatkan kita tentang hal ini. Semuanya adalah buah dari kemaksiatan kita karena kita tidak berhukum pada hukum-hukum Allah Swt. Mahabenar Allah Swt. dengan firman-Nya:

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 123-126).

Walhasil, kalau kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan cara menerapkan syariat Islam, kita tidak akan tersesat dan celaka. Inilah yang telah diingatkan oleh Rasulullah saw. melalui sabdanya:

«تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
Aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara; kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. (HR Malik).

Di sinilah urgennya kita untuk menjadikan kembali al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber konstitusi kita. Dengan kata lain, kita harus menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam kehidupan masyarakat kita, dan kita harus menerapkan syariat Islam semata. Semua ini membutuhkan pemerintahan Islam yang disebut dengan Daulah Khilafah Islamiyah. Inilah yang akan memberikan solusi atas berbagai urusan kehidupan kita.
Walhasil, kalau sistem pemerintahannya masih sistem sekular, jangan berharap terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.

Read more...

MENJADI SAHABAT YANG MENYENANGKAN


Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan (ithmi'nân/thuma’nînah) bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah Swt., Zat Yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia.
Hampir setiap Mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakînah mawaddah warahmah. Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah serta langgeng adalah hal yang tidak gampang. Fakta-fakta buruk kehidupan rumahtangga yang terjadi di masyarakat seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani kehidupan rumahtangga. Bahkan, tidak jarang, sebagian orang menjadi enggan menikah atau menunda-nunda pernikahannya.

Menikahlah, Karena Itu Ibadah
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam yang benar.
Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.
Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya menjadi pijakan setiap Muslim saat akan menikah. Karena itu, siapa pun yang akan menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk meraih tujuan pernikahan seperti yang telah digariskan Islam. Setidaknya, setiap Muslim, laki-laki dan perempuan, harus memahami konsep-konsep pernikahan islami seperti: aturan Islam tentang posisi dan peran suami dan istri dalam keluarga, hak dan kewajiban suami-istri, serta kewajiban orangtua dan hak-hak anak; hukum seputar kehamilan, nasab, penyusuan, pengasuhan anak, serta pendidikan anak dalam Islam; ketentuan Islam tentang peran Muslimah sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga, juga perannya sebagai bagian dari umat Islam secara keseluruhan, serta bagaimana jika kewajiban-kewajiban itu berbenturan pada saat yang sama; hukum seputar nafkah, waris, talak (cerai), rujuk, gugat cerai, hubungan dengan orangtua dan mertua, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan penguasaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh oleh pasangan yang akan menikah. Artinya, menikah itu harus didasarkan pada ilmu.

Jdilah Sahabat yang Menyenangkan
Pernikahan pada dasarnya merupakan akad antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumahtangga sebagai suami-istri sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Sesungguhnya kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah kehidupan persahabatan. Suami adalah sahabat karib bagi istrinya, begitu pula sebaliknya. Keduanya benar-benar seperti dua sahabat karib yang siap berbagi suka dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka demi meraih tujuan yang diridhai Allah Swt. Istri bukanlah sekadar patner kerja bagi suami, apalagi bawahan atau pegawai yang bekerja pada suami. Istri adalah sahabat, belahan jiwa, dan tempat curahan hati suaminya.
Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah Swt. berfirman:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (QS ar-Rum [30]: 21).

Maka dari itu, sudah selayaknya suami akan merasa tenteram dan damai jika ada di sisi istrinya, demikian pula sebaliknya. Suami akan selalu cenderung dan ingin berdekatan dengan istrinya. Di sisi istrinya, suami akan selalu mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan dakwah, demikian pula sebaliknya. Keduanya akan saling tertarik dan cenderung kepada pasangannya, bukan saling menjauh. Keduanya akan saling menasihati, bukan mencela; saling menguatkan, bukan melemahkan; saling membantu, bukan bersaing. Keduanya pun selalu siap berproses bersama meningkatkan kualitas ketakwaannya demi meraih kemulian di sisi-Nya. Mereka berdua berharap, Allah Swt. berkenan mengumpulkan keduanya di surga kelak. Ini berarti, tabiat asli kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah ithmi'nân/tuma’ninah (ketenangan dan ketentraman). Walhasil, kehidupan pernikahan yang ideal adalah terjalinnya kehidupan persahabatan antara suami dan istri yang mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi keduanya.
Untuk menjamin teraihnya ketengan dan ketenteraman tersebut, Islam telah menetapkan serangkaian aturan tentang hak dan kewajiban suami-istri. Jika seluruh hak dan kewajiban itu dijalankan secara benar, terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah suatu keniscayaan.

Bersabar atas Kekurangan Pasangan
Kerap terjadi, kenyataan hidup tidak seindah harapan. Begitu pula dengan kehidupan rumahtangga, tidak selamanya berlangsung tenang. Adakalanya kehidupan suami-istri itu dihadapkan pada berbagai problem baik kecil ataupun besar, yang bisa mengusik ketenangan keluarga. Penyebabnya sangat beragam; bisa karena kurangnya komunikasi antara suami-istri, suami kurang makruf terhadap istri, atau suami kurang perhatian kepada istri dan anak-anak; istri yang kurang pandai dan kurang kreatif menjalankan fungsinya sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga; karena adanya kesalahpahaman dengan mertua; atau suami yang 'kurang serius' atau 'kurang ulet' mencari nafkah. Penyebab lainnya adalah karena tingkat pemahaman agama yang tidak seimbang antara suami-istri; tidak jarang pula karena dipicu oleh suami atau istri yang selingkuh, dan lain-lain.
Sesungguhnya Islam tidak menafikan adanya kemungkinan terusiknya ketenteraman dalam kehidupan rumahtangga. Sebab, secara alami, setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti dihadapkan pada berbagai persoalan. Hanya saja, seorang Muslim yang kokoh imannya akan senantiasa yakin bahwa Islam pasti mampu memecahkan semua problem kehidupannya. Oleh karena itu, dia akan senantiasa siap menghadapi problem tersebut, dengan menyempurnakan ikhtiar untuk mencari solusinya dari Islam, seiring dengan doa-doanya kepada Allah Swt. Sembari berharap, Allah memudahkan penyelesaian segala urusannya.
Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah bukan berarti tidak pernah menghadapi masalah. Yang dimaksud adalah keluarga yang dibangun atas landasan Islam, dengan suami-istri sama-sama menyadari bahwa mereka menikah adalah untuk ibadah dan untuk menjadi pilar yang mengokohkan perjuangan Islam. Mereka siap menghadapi masalah apapun yang menimpa rumahtangga mereka. Sebab, mereka tahu jalan keluar apa yang harus ditempuh dengan bimbingan Islam.
Islam telah mengajarkan bahwa manusia bukanlah malaikat yang selalu taat kepada Allah, tidak pula ma‘shûm (terpelihara dari berbuat maksiat) seperti halnya para nabi dan para rasul. Manusia adalah hamba Allah yang memiliki peluang untuk melakukan kesalahan dan menjadi tempat berkumpulnya banyak kekurangan. Pasangan kita (suami atau istri) pun demikian, memiliki banyak kekurangan. Karena itu, kadangkala apa yang dilakukan dan ditampakkan oleh pasangan kita tidak seperti gambaran ideal yang kita harapkan. Dalam kondisi demikian, maka sikap yang harus diambil adalah bersabar!
Sabar adalah salah satu penampakan akhlak yang mulia, yaitu wujud ketaatan hamba terhadap perintah dan larangan Allah Swt. Sabar adalah bagian hukum syariat yang diperintahkan oleh Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 153; QS az-Zumar [39]: 10).
Makna kesabaran yang dimaksudkan adalah kesabaran seorang Mukmin dalam rangka ketaatan kepada Allah; dalam menjalankan seluruh perintah-Nya; dalam upaya menjauhi seluruh larangan-Nya; serta dalam menghadapi ujian dan cobaan, termasuk pula saat kita dihadapkan pada 'kekurangan' pasangan (suami atau istri) kita.
Namun demikian, kesabaran dalam menghadapi 'kekurangan' pasangan kita harus dicermati dulu faktanya. Pertama: Jika kekurangan itu berkaitan dengan kemaksiatan yang mengindikasikan adanya pelalaian terhadap kewajiban atau justru melanggar larangan Allah Swt. Dalam hal ini, wujud kesabaran kita adalah dengan menasihatinya secara makruf serta mengingatkannya untuk tidak melalaikan kewajibannya dan agar segera meninggalkan larangan-Nya. Contoh pada suami: suami tidak berlaku makruf kepada istrinya, tidak menghargai istrinya, bukannya memuji tetapi justru suka mencela, tidak menafkahi istri dan anak-anaknya, enggan melaksanakan shalat fardhu, enggan menuntut ilmu, atau malas-malasan dalam berdakwah. Contoh pada istri: istri tidak taat pada suami, melalaikan pengasuhan anaknya, melalaikan tugasnya sebagai manajer rumahtangga (rabb al-bayt), sibuk berkarier, atau mengabaikan upaya menuntut ilmu dan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sabar dalam hal ini tidak cukup dengan berdiam diri saja atau nrimo dengan apa yang dilakukan oleh pasangan kita, tetapi harus ada upaya maksimal menasihatinya dan mendakwahinya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kita senantiasa mendoakan pasangan kita kepada Allah Swt.
Kedua: Jika kekurangan itu berkaitan dengan hal-hal yang mubah maka hendaknya dikomunikasikan secara makruf di antara suami-istri. Contoh: suami tidak terlalu romantis bahkan cenderung cuwek; miskin akan pujian terhadap istri, padahal sang istri mengharapkan itu; istri kurang pandai menata rumah, walaupun sudah berusaha maksimal tetapi tetap saja kurang estetikanya, sementara sang suami adalah orang yang apik dan rapi; istri kurang bisa memasak walaupun dia sudah berupaya maksimal menghasilkan yang terbaik; suami “cara bicaranya” kurang lembut dan cenderung bernada instruksi sehingga kerap menyinggung perasaan istri; istri tidak bisa berdandan untuk suami, model rambutnya kurang bagus, hasil cucian dan setrikaannya kurang rapi; dan sebagainya. Dalam hal ini kita dituntut bersabar untuk mengkomunikasikannya, memberikan masukan, serta mencari jalan keluar bersama pasangan kita. Jika upaya sudah maksimal tetapi belum juga ada perubahan, maka terimalah itu dengan lapang dada seraya terus mendoakannya kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 19). Rasulullah saw. bersabda:


Janganlah seorang suami membenci istrinya. Jika dia tidak menyukai satu perangainya maka dia akan menyenangi perangainya yang lain. (HR Muslim).

Inilah tuntunan Islam yang harus dipahami oleh setiap Mukmin yang ingin rumahtangganya diliputi dengan kebahagiaan, cinta kasih, ketenteraman, dan langgeng. Wallâhu a‘lam bi ash-shawab.

Read more...

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP