Click here for Myspace Layouts
Powered by Blogger.

Tuesday, December 14, 2010

MENGAPA TERJADI PERPECAHAN DALAM ISLAM?


SERUAN UNTUK KAUM MUSLIMIN DI INDONESIA :


MOHON KIBARKAN PANJI-PANJI ISLAM
BAKAR SEMUA BENDERA-BENDERA PARTAI

SUDAH SAATNYA SEKARANG KITA KIBARKAN BENDERA
“LAILAHAILALLAH – MUHAMMADANRASULULLAH”


DIDEPAN HALAMAN RUMAH KITA SEBAGAI PERLAWAN UMAT TERHADAP SISTEM KUFUR DEMOKRASI
MARILAH KITA BERSATU DIBAWAH PANJI-PANJI ISLAM

ALLAHU AKBAR..!! ALLAHU AKBAR..!! ALLAHU AKBAR..!!
MOHON SEBARKAN INFORMASI INI KEPADA SAUDARA-SAUDARA KITA YANG BELUM TAHU SEBARKAN JUGA DI BLOG ANTUM-ANTUM SEKALIAN

SERUAN UNTUK KAUM MUSLIMIN DI INDONESIA :


MOHON KIBARKAN PANJI-PANJI ISLAM
BAKAR SEMUA BENDERA-BENDERA PARTAI

SUDAH SAATNYA SEKARANG KITA KIBARKAN BENDERA
“LAILAHAILALLAH – MUHAMMADANRASULULLAH”


DIDEPAN HALAMAN RUMAH KITA SEBAGAI PERLAWAN UMAT TERHADAP SISTEM KUFUR DEMOKRASI
MARILAH KITA BERSATU DIBAWAH PANJI-PANJI ISLAM
ALLAHU AKBAR..!! ALLAHU AKBAR..!! ALLAHU AKBAR..!!

MOHON SEBARKAN INFORMASI INI KEPADA SAUDARA-SAUDARA KITA YANG BELUM TAHU SEBARKAN JUGA DI BLOG ANTUM-ANTUM SEKALIAN


Kita mungkin sudah biasa melihat perpecahan umat Islam dalam mensingkapi sebuah perbedaan. Namun kita tidak tahu, tips dan trik bagaimana umat Islam dapat berpecah belah dalam menyingkapi sebuah perbedaan. Artikel ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga dan memberikan keberhati-hatian dalam menyingkapi sebuah perbedaan yang menyebabkan perpecahan. Baik, apa saja yang membuat umat Islam dapat berpecah belah ketika menghadapi sebuah masalah:


1. Perbedaan Pendapat : Ini sering menjadi tolak ukur kebenaran dari masing-masing kelompok umat Islam. Menganggap diri yang paling benar dalam perjuangan, sehingga menafikkan kelompok umat Islam yang lain. Dan akhirnya cenderung kepada kebanggaan hanya kepada kelompoknya sendiri.

2. Pengkultusan Ulama : Inilah yang menjadi problem bagi kita semua, karena satu ulama dengan ulama yang lain kadang berbeda pendapat dalam mensingkapi sebuah masalah. Maka akhirnya jamaah satu dengan jamaah yang lain merasa paling benar dengan apa yang diutarakan oleh Ulamanya sendiri-sendiri. Sehingga ada kesan bahwa “hanya ulama sayalah yang paling benar, yang lainnya salah!”

3. Saling klaim paling berjasa : Saling klaim paling berjasa dalam perjuangan ini sering terjadi, merasa kelompoknya paling terdepan dalam berjuang, merasa paling tepat dalam arah perjuangannya, sehingga menafikkan kelompok umat Islam yang lainnya.

4. Menyudutkan : Sering terjadinya sebuah kelompok Islam menyudutkan arah perjuangan kelompok Islam yang lainnya, jika terkesan tidak sesuai dengan perjuangan kelompok Islam yang lainnya. Kesannya, apa yang dilakukan kelompok Islam yang lainnya merupakan cara-cara yang salah dalam berjuang, sehingga yang sering terjadi bukan bekerjasama tetapi malah saling menyudutkan arah perjuangan kelompok Islam satu dengan yang lainnya.

5. Menjustifikasi/menghukumi : Beberapa kelompok Islam sering menjustifikasi tentang kesalahan arah perjuangan kelompok Islam yang lainnya. Sehingga terkesan sekali bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok Islam yang lain merupakan sebuah perilaku kesalahan yang terus menerus dilakukan. Ada kesan bahwa setiap orang yang mengikuti kelompok Islam yang lain, maka itu sebuah kesalahan yang besar.

6. Menfitnah : Ini sering terjadi, jelas fitnah itu sangat dibenci oleh Allah. Namun beberapa kelompok Islam sering menjadikan ungkapan berbau fitnah ini tanpa tabayyun terlebih dahulu. Mereka lebih mudah memandang dari sudut pandang kacamata kelompoknya sendiri daripada melihat sudut pandang kelompok Islam yang lain.

7. Menggunjing : beberapa kelompok Islam lebih senang “membicarakan” dengan mencari-cari kelemahan dan kesalahan-kesalahan gerakan Islam yang lainnya dalam kajian mereka sendiri. Tidak ada tabayyun untuk mengklarifikasi apa yang telah dilakukan kelompok Islam yang lain. Intinya, jika tidak sesuai dengan arah perjuangan kelompoknya sendiri maka semua itu salah.
Semua itu dapat dapat diminimalisir ketika kita mempunyai kedewasaan dalam berfikir. Pola keberagaman berfikir sebenarnya sudah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah. Namun semua itu tidak menjadikan para sahabat Rasulullah berpecah belah, tetapi menambah khazanah pola keberagaman pemikiran. Kita ingat bagaimana Abu bakar dan Umar saat berbeda, bagaimana Umar Dan Khalid saat berbeda, bagaimana Utsman dan Ali saat berbeda, bagaimana Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ketika berbeda, dan bagaimana Imam Malik, Imam Syuyuthi, Imam Shouqani dalam mensingkapi perbedaan pendapat. Semua itu sudah diajarkan.

Semua itu tergantung kepada pemikiran kita masing-masing. Dan semua itu terletak kepada pendewasaan kita dalam berfikir bagaimana menjadikan keberagaman pola berfikir itu dapat membuat kita bersatu. Persatuan kelompok Islam memang akan sulit dilakukan, tetapi mempersatukan kelompok Islam dengan atas nama Islam bukan sebuah hal yang mustahil! Persatuan itu mana kala ada perbedaan, dengan adanya perbedaan itulah akhirnya kita disatukan. Entah terserah mereka memakai cara apa dalam memperkenalkan Islam ini, yang terpenting semua kelompok umat Islam saling bahu-membahu menegakkan Diennul Islam ini sebagai agama yang haq, yang dapat menjadi pencerahan dari segala prilaku.

Maka sudah tidak jamannya lagi, kita membedakan sebuah perbedaan umat Islam. Tetapi kita menyamakan antara sesuatu yang dirasa memang sama dengan aturan syari’at. Kenapa kita harus membeda-bedakan umat Islam, jikalau dalam Al Quran jelas, dikatakan “Innamal mu’minuuna Ikhwah”. Jadi kenapa kita harus berbecah-belah menyingkapi hal ini. Biarlah Allah menghukumi kebenaran mana yang Dia inginkan pada masing-masing kelompok Islam. Jangan jadikan hak Allah dalam menentukan kebenaran yang diasumsikan sebagai kebenaran-kebenaran individu kelompoknya sendiri.

Read more...

Wednesday, December 1, 2010


KISAH TELADAN. KISAH HARRY MOEKTI HIJRAH DARI KEMAKSIATAN MENUJU ISLAM KAFFAH




“ Ada kamu di dalam bingungku, pada kamu ada sesuatu, walau kamu tak meletus bagai Gunung Merapi yang ada di tivi” ( Lhooo… kok liriknya ngawur ).
Mungkin bagi agan-agan yang mengalami masa remaja tahun 1990 an ( antara 1988-1994 ) tidak asing dengan lirik lagu dia atas. Namun bagi kalian yang sekarang masih remaja, mungkin lirik lagu itu sedikit asing buat kalian, yah karena lagu itu di launching sekitar tahun 1988.

Itulah lagu Hari Moekti yang berjudul “ Ada Kamu” itu telah melambungkan namanya di belantika musik tanah air era 1988-1994 an, dan berhasil terjual ratusan ribu kopi kaset di seluruh Indonesia.

HARRY MOEKTI
Pria kelahiran Cimahi yang bernama asli Hariadi Wibowo, memulai karir keartisannya sebagai penyaynyi Rock ( Rocker ) tahun 1987. Walaupun Hari Moekti sebenarnya tidak berkeinginan menjadi artis atau penyanyi, namun pada suatu hari dia bertemu seorang produser rekaman yang mendengarnya bernyanyi lalu menawarinya rekaman kepada Hari Mukti.



Saat itulah kehidupan Hari Moekti berubah, dari seorang remaja biasa menjadi artis yang tenar, dan terkenal di seluruh penjuru tanah air. Saat itu tidak ada seorang remaja pun di Indonesia yang tidak tahu nama Hari Mukti, rocker terkenal sekaligus idola mereka.

Semua gaya pakaian dan penampilannya ditiru habis-habisan oleh para remaja, seperti gaya celana jean sobek. Jadi saat itu jika ada remaja yang pakai celana jean kok gak sobek, berarti gak gaul.

HIJRAH DARI KEHIDUPAN MAKSIAT KE ISLAM YANG KAFFAH
Yah memang kehidupan menjadi artis itu penuh kekayaan, gelamor, mewah. Namun Hari Moekti pelantun lagu “hanya satu kata “ tidak merasa bahagia sedikitpun, seluruh harta kekayaannya tidak membuatnya hidup tenang, walaupun dia sudah menyekolahkan banyak anak yatim, menyumbangkan hartanya bagi panti asuhan, namun tetaplah dia tidak bahagia.

Tanggal 31 Desember 1994 dia diundang untuk konser tahun baru di salah satu stasiun televisi swasta nasional, dia saat itu dibayar Rp.50.000.000, 00, wow..., namun apa yang terjadi setelah dia tahu kalau Anggun C Sasmi yang juga diundang di acara tersebut ternyata dibayar Rp 65.000.000,00, dia dalam hatinya marah, dia merasa disepelekan. Ketika Indra Lesmana membeli mobil baru dan dipamerkan kepadanya dan ternyata mobil Indra lebih mahal daripada mobilnya, dia pun iri. Itulah yang terjadi pada Hari Mukti, dia hanya hidup dalam kemarahan, dan kedengkian.

Menemukan Pencerahan



Di tahun 1995 dia bertemu dengan seorang Ustad dan berdiskusi tetang agama dengannya, dia terkagum-kagum dengan argumen Ustad itu yang cerdas, berwawasan, dan sangat masuk akal. Dia pun akhirnya mengaji dengan sang ustad.

Akhir tahun 1995 dia memutuskan untuk keluar dari dunia keartisan, dan fokus berdakwah. Bagi Harry Mukti dunia artis saat itu dan saat ini adalah dunia yang menyebarkan kemaksiatan, artis adalah sarana dari musuh-musuh Islam untuk menghancurkan generasi mudanya.



Ketika si penyanyi ( Artis ) melantunkan lagu, maka akan menimbulkan suatu gairah bagi pendengarnya, nah kalau Cuma sebatas gairah itu wajar, namun gairah inilah yang kemudian diisi kemaksiatan, sebagai contoh Cinta adalah Pacaran, Pacaran adalah Cinta dan Tidak ada Cinta tanpa Pacaran, itulah maksiatnya. kata Beliau

Pengalaman paling mengharukan adalah ketika istrinya akan melahirkan anak pertamanya, ternyata harus caesar yang biayanya saja Rp15.000.000,00. Saat itu Beliau hanya mempunyai uang tunai Rp 3000.000,00. Beliau bingung, lalu berdoa " Ya Allah tolonglah hamba-Mu ini, jika engkau menganggap hambamu ini adalah seorang pendakwah ( Mubaligh ) di Jalan-Mu, maka jangan biarkan hamba-Mu ini dipermalukan gara2 tidak mampu membayar biaya persalinan istrinya di Rumah Sakit.

Selang beberapa lama, temannya menelpon menanyakan nomor rekeningnya, dia sanggup memberi bantuan Rp 5000.000,00, lalu berturut-turut hampir semua teman-teman sesama ustad memberi bantuan, mulai dari 1 jt, 2 jt, 3jt, sampai akhirnya terkumpul biaya persalinan dan administrasi. Bahkan ada temannya yang marah-marah karena tidak memberi tahunya bahwa istrinya sedang melahirkan, dia sebenarnya sanggup membantu seluruh biaya persalinan itu.


MENGAJAK HIJRAH DARI KEMAKSIATAN MENUJU ISLAM YANG KAFFAH
HANYA SATU KATA, BUKAN BANYAK KATA, CUKUP SATU KATA, DAKWAH

Jangan kau ragu dan membisu, ungkapkan saja isi hatimu, lewat satu kata yaitu Islam sebagai Solusi bagi seluruh problematika kehidupan, lewat satu kata, Dakwah.

KEHIDUPAN SEKULER PARA REMAJA

Hari Mukti mengkritisi kehidupan sekuler saat ini, dimana pacaran merajalela dikalangan remaja dan pemuda, perzinaan juga merajalela, mereka menumpuk dosa namun mereka justru bangga.

Hari Mukti seperti halnya pejuang Syariat yang lain selalu mengajak umat Islam untuk memperjuangkan tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah, yang akan melaksanakan Syariat Islam secara kaffah.

BERSALAMAN DENGAN PARA PENGUNGSI MERAPI

Saat bertauziah dengan pengungsi merapi tanggal 16 November 2010, Ustad Hari Mukti berkata, "Bikin kaset tidak apa-apa. Naik panggung juga tidak apa-apa. Tapi kalau karena kontrak, saya sepanggung dengan orang yang berperilaku dan berdandan tidak sesuai ajaran agama, itu dosa. Saya tidak mau," tekannya.

Pernah seorang Ibu-ibu menelponnya yang mengatakan bahwa akhirnya suaminya mengijinkan ia berjilbab gara-gara ikut pengajian Ust. Hari Mukti. Beliau pun merasakan seakan dunia milik dia semua, kebahagiaan yang tak terkira, serta kenikmatan sejati seorang ustad.

Baginya harta sudah bukan lagi segala-galanya, sekarang dia sudah menikmati hidup bahagia, bersama seorang istri yang anggun dengan balutan jilbab hitamnya, serta dikaruniai 2 anak. ALHAMDULILLAH

KEGELAPAN YANG DATANG, TAK MUNGKIN SELAMANYA, NANTI AKAN BERAKHIR, DAN ISLAM AKAN MEMIMPIN DUNIA.

Read more...

Tuesday, November 23, 2010

ULANG TAHUN ADA DALAM INJIL MATIUS 14 : 6 dan INJIL MARKUS 6 :21

Mungkin kurangnya pengetahuan mengenai "ke-Aqidah-an", masih banyak ummat Islam yang mengikuti ritual paganisme ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan para ustadz dan ustazdahpun ikut merayakannya dan terjebak di dalamnya. Apalagi gencarnya media televisi dan media massa lainnya mempublikasikan seremonialnya yang terkadang dilakukan oleh beberapa da'i muda atau yang bergelar ustadz [setengah artis, katanya sih !]. Ditambah lagi kebiasaan ini sudah jamak dan menjadi hal yang seakan-akan wajib apabila ada anggota keluarga, rekan atau sahabat yang memperingati hari lahirnya. Dan tak kurang kelirunya sejak di Taman Kanak-kanak dan SD sudah diajarkan secara praktek langsung bahkan ada termaktub dalam buku-buku kurikulum mereka . Wallahu a'lam. Semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka.

Pada masa-masa awal Nasrani generasi pertama (Ahlul Kitab / kaum khawariyyun / pengikut nabi Isa) mereka tidak merayakan Upacara UlangTahun, karena mereka menganggap bahwa pesta ulang tahun itu adalah pesta yang mungkar dan hanya pekerjaan orang kafir Paganisme.

Pada masa Herodeslah acara ulang tahun dimeriahkan sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 14:6;

Tetapi pada HARI ULANG TAHUN Herodes, menarilah anak Herodes yang perempuan, Herodiaz, ditengah-tengah meraka akan menyukakan hati Herodes. (Matius14 : 6)

Dalam Injil Markus 6:21

Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodias, ketika Herodes pada HARI ULANG TAHUNNYA mengadakan perjamuan untuk pembesar-pembesarnya, perwira-perwiranya dan orang-orang terkemuka di Galilea. (Markus 6:21)

-------------------------------------------------------------


Look at the Bible, Matthew 14 : 6 and Mark 6:21;
celebrating of birthday is Paganism, and Jesus (Isa, peace be upon him) doesn't to do it, but Herod.

Matthew 14:6 :

"But when Herod's birthday was kept, the daughter of Herodias danced before them, and pleased Herod".



Mark 6:21 :

And when a convenient day was come, that Herod on his birthday made a supper to his lords, and the high captains, and the chief men of Galilee.

-------------------------------------------------------------

Orang Nasrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi. Beberapa batang lilin dinyalakan sesuai dengan usia orang yang berulang tahun. Sebuah kue ulang tahun dibuatnya dan dalam pesta itu, kue besar dipotong dan lilinpun ditiup. (Baca buku :Parasit Aqidah. A.D. El. Marzdedeq, Penerbit Syaamil, hal. 298)

Sudah menjadi kebiasaan kita mengucapkan selamat ulang tahun kepada keluarga maupun teman, sahabat pada hari ULTAHnya. Bahkan tidak sedikit yang aktif dakwah (ustadz dan ustadzah) pun turut larut dalam tradisi jahiliyah ini.

Sedangkan kita sama-sama tahu bahwa tradisi ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi kita yang mulia MUHAMMAD Shalallah Alaihi Wasallam, dan kita ketahui Rasulullah adalah orang yang paling mengerti cara bermasyarakat, bersosialisasi, paling tahu bagaimana cara menggembirakan para sahabat-sahabatnya. Rasulullah paling mengerti bagaimana cara mensyukuri hidup dan kenikmatannya. Rasulullah paling mengerti bagaimana cara menghibur orang yang sedang bersedih. Rasulullah adalah orang yang paling mengerti CARA BERSYUKUR dalam setiap hal yang di dalamnya ada rasa kegembiraan. Adapun tradisi ULANG TAHUN ini merupakan tradisi orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum paganism, maka Rasulullah memerintahkan untuk menyelisihinya. Apakah Rasulullah pernah melakukannya ? Apakah para sahabat Rasululah pernah melakukannya ? Apakah para Tabi'in dan Tabiut tabi'in pernah melakukannya ? Padahal Herodes sudah hidup pada jaman Nabi Isa. Apakah Rasulullah mengikuti tradisi ini ? Apakah 3 generasi terbaik dalam Islam melakukan ritual paganisme ini ?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya saja.” (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah pernah bersabda:

"Kamu akan mengkuti cara hidup orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk kedalam lobang biawak kamu pasti akan memasukinya juga". Para sahabat bertanya,"Apakah yang engkau maksud adalah kaum Yahudi dan Nasrani wahai Rasulullah?"Rasulullah menjawab:"Siapa lagi jika bukan mereka?!".

Rasulullah bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“ Man tasabbaha biqaumin fahua minhum” (Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka."( HR. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar).

Allah berfirman;

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS. Al Baqarah : 120)

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran , pengelihatan, dan hati, semuannya itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra’:36)

"... dan kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar." (QS. an-Nuur: 15)

Janganlah kita ikut-ikutan, karena tidak mengerti tentang sesuatu perkara. Latah ikut-ikutan memperingati Ulang Tahun, tanpa mengerti darimana asal perayaan tersebut.

Ini penjelasan Nabi tentang sebagian umatnya yang akan meninggalkan tuntunan beliau dan lebih memilih tuntunan dan cara hidup diluar Islam. Termasuk juga diantaranya adalah peringatan perayaan ULTAH, meskipun ditutupi dengan labelSYUKURAN atau ucapan selamat MILAD atau Met MILAD seakan-akankelihatan lebih Islami.

Ingatlah ! Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasul.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang "tidak ada perintah dari kami padanya" maka amalan tersebut TERTOLAK (yaitu tidak diterima oleh Allah).” [HR. Muslim]

Rasulullah, para sahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in adalah orang yang PALING MENGERTI AGAMA ISLAM. Mereka tidak mengucapkan dan tidak memperingati Ulang Tahun, walaupun mungkin sebagian manusia menganggapnya baik.

Pahamilah "Kaidah" yang agung ini;

لو كان خيرا لسبقون اليه

"Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi"
SEANDAINYA PERBUATAN ITU BAIK, MAKA RASULULLAH, PARA SAHABAT, TABI'IN DAN TABIUT TABI'IN PASTI MEREKA LEBIH DAHULU MENGMALKANNYA DARIPADA KITA. Karena mereka paling tahu tentang nilai sebuah kebaikan daripada kita yang hidup di jaman sekarang ini.

Jika kita mau merenung apa yang harus dirayakan atau disyukuri BERKURANGNYA usia kita? Semakin dekatnya kita dengan KUBUR? SUDAH SIAPKAH kita untuk itu? Akankah kita bisa merayakannya tahun depan?

Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diriMEMPERHATIKAN apa yang telah diperbuatnya UNTUK HARI ESOK (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Seorang muslim dia dituntut untuk MUHASABAH setiap hari, karena setiap detik yang dilaluinya TIDAK akan pernah kembali lagi sampai nanti dipertemukan oleh ALLAH pada hari penghisaban , yang tidak ada yang bermanfaat pada hari itu baik anak maupun harta kecuali orang yang menghadap ALLAH dengan membawa hati yang ikhlas dan amal yang soleh.

Jadi, alangkah baiknya jika tradisi jahiliyah ini kita buang jauh-jauh dari diri kita, keluarga dan anak-anak kita dan menggantinya dengan tuntunan yg mulia yang diajarkan oleh Rasulullah. mendoakan saudarany juga tidak hanya di moment Ultah tapi setiap saat.

Semoga malaikat-Nya mendoakan kalian juga…
Dan semoga Alloh ‘Azza wa Jalla…mengabulkan doa kita semua…




Silahkan dibaca juga link ini :

Siapa bilang kalau Ulang Tahun Tidak ada Kaitannya Dengan Perkara Ibadah ? Silahkan baca :
Sejarah dan Asal usul kue Ulang Tahun
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.tokenz.com/history-of-birthday-cake.html

Read more...

Friday, November 19, 2010

HADLARAH ISLAM

Terdapat perbedaan antara Hadlarah dan Madaniyah.
Hadlarah adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut
dan mempunyai fakta) tentang kehidupan. Sedangkan
Madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang
terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.
Hadlarah bersifat khas, terkait dengan pandangan hidup.
Sementara madaniyah bisa bersifat khas, bisa pula bersifat umum
untuk seluruh umat manusia. Bentuk-bentuk madaniyah yang
dihasilkan dari hadlarah, seperti patung, termasuk madaniyah
yang bersifat khas. Sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang
menjadi produk kemajuan sains dan perkembangan teknologi/
industri tergolong madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh
umat manusia. Bentuk madaniyah yang terakhir ini bukan milik
umat tertentu, akan tetapi bersifat universal seperti halnya sains
dan teknologi/industri.
Perbedaan antara hadlarah dengan madaniyah harus selalu
diperhatikan. Begitu pula harus diperhatikan perbedaan antara
bentuk-bentuk madaniyah yang menjadi produk suatu hadlarah
dengan bentuk-bentuk madaniyah yang merupakan produk sains
dan teknologi/industri. Hal ini amat penting pada saat kita akan
mengambil madaniyah, agar kita dapat membedakan bentuk-
bentuknya atau agar dapat membedakannya dengan hadlarah.
Jadi, tidak ada larangan bagi kita untuk mengambil bentuk-
bentuk madaniyah Barat yang menjadi produk sains dan
teknologi/industri. Namun madaniyah Barat yang merupakan
produk hadlarah-nya, jelas tidak boleh kita ambil, karena jelas-
jelas bertentangan dengan hadlarah Islam, baik dari segi asas
dan pandangannya terhadap kehidupan, maupun dari arti
kebahagiaan hidup bagi manusia.
Hadlarah Barat dibangun berdasarkan pemisahan agama
dari kehidupan dan pengingkaran terhadap peran agama dalam
kehidupan. Hal ini berakibat munculnya paham sekular, yaitu
pemisahan agama dari urusan negara -suatu hal yang wajar bagi
mereka yang memisahkan agama dari kehidupan dan
mengingkari keberadaan agama dalam kehidupan. Diatas
landasan inilah mereka tegakkan sendi-sendi kehidupan beserta
peraturan-peraturannya.
Kehidupan menurut mereka hanya untuk (meraih)
manfaat/maslahat. Manfaat menjadi ukuran bagi setiap perbuatan
mereka. Manfaat merupakan dasar tegaknya sistem dan hadlarah
Barat. Dari sinilah manfaat menjadi paham yang menonjol dalam
sistem dan hadlarah ini. Menurut mereka, kehidupan ini semata-
mata hanya digambarkan dalam kerangka manfaat. Sedangkan
kebahagian mereka artikan sebagai usaha untuk mendapatkan
sebanyak mungkin kenikmatan jasmani, serta tersedianya seluruh
sarana kenikmatan tersebut. Dengan demikian hadlarah Barat
adalah hadlarah yang dibangun berdasarkan mashlahat saja.
Tidak ada nilai lain selain manfaat. Mereka tidak mengakui apapun
selain manfaat. Mereka jadikan manfaat sebagai ukuran bagi setiap
perbuatan. Aspek kerohanian –menurut mereka-, menjadi urusan
pribadi yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat, dan terbatas hanya pada lingkungan gereja serta para gerejawan.
Wajar, dalam hadlarah Barat tidak terdapat nilai-nilai moral,
rohani, dan kemanusiaan. Yang ada hanya nilai-nilai materi dan
manfaat saja. Atas dasar inilah segala aktivitas kemanusiaan
diambil alih oleh organisasi-organisasi yang berdiri sendiri di luar
pemerintahan, seperti organisasi Palang Merah dan missi-missi
zending. Seluruh nilai-nilai telah tercabut dari kehidupan kecuali
nilai materi, yaitu memperoleh keuntungan. Jelas bahwa hadlarah
Barat sebenarnya adalah himpunan dari mafahim tentang
kehidupan sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Adapun hadlarah Islam berdiri di atas landasan yang
bertentangan dengan landasan hadlarah Barat. Pandangannya
tentang kehidupan dunia juga berbeda dengan yang dimiliki oleh
hadlarah Barat. Demikian pula arti kebahagiaan hidup menurut
Islam sangat berlawanan dengan arti kebahagiaan hidup menurut
hadlarah Barat. Hadlarah Islam berdiri atas dasar iman kepada
Allah SWT, dan bahwasanya Dia telah menjadikan untuk alam
semesta, manusia, dan hidup ini suatu aturan yang masing-
masing harus mematuhinya. Diutusnya untuk kita, Nabi
Muhammad SAW dengan membawa Agama Islam. Jadi,
hadlarah Islam berdiri di atas dasar akidah Islam yaitu beriman
kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab
suci-Nya, Hari Kiamat, serta kepada Qadla dan Qadar baik
buruknya dari Allah SWT. Akidahlah yang menjadi dasar bagi
hadlarah ini. Dengan demikian hadlarah ini berlandaskan pada
asas yang memperhatikan ruh (yaitu hubungan manusia dengan
Pencipta).
Konsep kehidupan menurut hadlarah Islam, dapat dilihat
dalam konsep dasar Islam yang lahir dari akidah Islam serta yang
menjadi dasar bagi kehidupan dan perbuatan manusia di dunia.
Konsep dasar itu adalah penggabungan materi dengan ruh, yaitu
menjadikan semua perbuatan manusia berjalan sesuai dengan
perintah Allah dan larangan-Nya. Konsep ini yang menjadi dasar pandangannya tentang kehidupan. Sebab, pada hakekatnya
perbuatan manusia itu adalah materi. Sedangkan kesadaran
manusia akan hubungannya dengan Allah -pada saat perbuatan
itu dilakukan-, ditinjau dari halal-haram-nya perbuatan, adalah
ruh. Maka terjadilah penggabungan antara materi dengan ruh.
Dengan demikian jalur perbuatan seorang muslim adalah perintah
Allah dan larangan-Nya. Sedangkan tujuan yang mengarahkan
amal perbuatan agar berjalan di atas jalur perintah Allah dan
larangan-Nya adalah keridlaan Allah semata, bukan manfaat.
Sedangkan maksud dilakukannya suatu perbuatan adalah nilai
yang senantiasa diraih manusia tatkala dia melakukan suatu
perbuatan. Nilai ini tentu saja berbeda-beda tergantung dari jenis
perbuatannya. Adakalanya nilai itu bersifat materi, misalnya orang
berdagang yang bermaksud mencari keuntungan. Perbuatan
dagangnya itu merupakan perbuatan yang bersifat materi,
sedangkan yang mengendalikan perbuatan dagangnya adalah
kesadarannya akan hubungan dirinya dengan Allah, sesuai
dengan perintah dan larangan-Nya karena mengharap ridla
Allah. Adapun nilai yang ingin diperoleh dari aktivitas dagangnya
adalah keuntungan, yang merupakan nilai materi. Kadang-
kadang nilai suatu perbuatan bersifat kerohanian, misalnya Shalat,
Zakat, Shaum atau Haji. Ada pula yang bersifat moril, seperti
jujur, amanah atau tepat janji. Bisa juga bersifat kemanusiaan,
seperti menyelamatkan orang yang tenggelam atau menolong
orang yang berduka. Nilai-nilai semacam ini senantiasa diusahakan
manusia untuk dapat terwujud pada saat ia melakukan perbuatan.
Hanya saja nilai-nilai tersebut bukanlah penentu suatu perbuatan,
dan bukan pula tujuan utama dilakukannya perbuatan. Jadi,
hanya sekedar nilai perbuatan yang berbeda-beda tergantung
dari jenis perbuatan.
Selain itu, kebahagiaan hidup menurut Islam adalah
mendapatkan ridla Allah SWT. Bukan untuk memuaskan
kebutuhan-kebutuhan jasmani manusia. Sebab, pemuasan kebutuhan manusia, baik yang bersifat jasmani maupun naluri
merupakan sarana mutlak untuk menjaga kelangsungan hidup
manusia, tetapi tidak menjamin adanya kebahagiaan.
Inilah pandangan hidup menurut Islam, dan inilah dasar
bagi pandangan tersebut, yang menjadi asas bagi hadlarah Islam.
Tentu sangat berlawanan dengan hadlarah Barat. Begitu pula
halnya dengan bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan
hadlarah Islam yang jelas-jelas bertentangan dengan bentuk-
bentuk madaniyah yang menjadi produk hadlarah Barat. Sebagai
contoh, lukisan adalah bentuk madaniyah. Kebudayaan Barat
menganggap bahwa lukisan perempuan telanjang yang
menampilkan seluruh bentuk keindahan tubuh sebagai
madaniyah yang sesuai dengan paham kehidupannya terhadap
wanita. Karena itu, orang Barat memandangnya sebagai bentuk
madaniyah yang bersifat seni yang diagung-agungkan jika
memenuhi syarat-syarat seni. Namun bentuk madaniyah
semacam ini bertentangan dengan hadlarah Islam dan
berlawanan dengan pandangannya terhadap wanita, yaitu
sebagai suatu kehormatan yang wajib dijaga. Islam melarang
lukisan semacam ini, karena akan merangsang syahwat biologis
lelaki/wanita yang berasal dari naluri melestarikan jenis manusia
dan dapat menyebabkan kerusakan akhlak. Contoh lain, apabila
seorang muslim hendak mendirikan rumah yang termasuk salah
satu bentuk madaniyah, maka ia akan membangun rumahnya
sedemikian rupa agar jangan sampai aurat wanita penghuni
rumah mudah terlihat oleh orang luar, misalnya dengan
mendirikan pagar di sekeliling rumahnya. Lain halnya dengan
orang-orang Barat, mereka tidak memperhatikan hal-hal
semacam ini sesuai dengan hadlarah-nya. Dengan demikian,
seluruh bentuk madaniyah yang menjadi produk hadlarah Barat
seperti patung dan sejenisnya, model pakaian, apabila memiliki
ciri khas orang-orang kafir, tidak boleh dipakai oleh orang muslim.
Sebab, pakaian semacam ini menyandang pandangan hidup tertentu. Akan tetapi jika tidak demikian, yakni telah menjadi
kebiasaan dalam berbusana dan tidak dianggap sebagai pakaian
khusus orang kafir -hanya dipakai untuk sekedar memenuhi
kebutuhan atau pemanis busana-, maka pakaian tersebut
termasuk jenis madaniyah yang bersifat umum dan boleh
dikenakan.
Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan oleh sains dan
teknologi/industri, seperti alat-alat laboratorium, alat-alat
kedokteran, mesin-mesin industri, perabotan rumah tangga,
permadani, dan sebagainya. Semua ini termasuk bentuk
madaniyah yang bersifat universal, sehingga boleh diambil tanpa
khawatir terhadap sesuatu. Bentuk-bentuk ini bukan produk
hadlarah serta tidak ada hubungan dengan hadlarah.
Dengan melihat selintas saja pada hadlarah Barat yang
berkuasa di dunia saat ini, maka kita dapati bahwa hadlarah ini
tidak mampu menjamin ketenangan dan ketenteraman manusia.
Sebaliknya, hadlarah ini telah menyebabkan kesengsaraan yang
diderita oleh seluruh dunia. Hadlarah yang landasannya adalah
memisahkan agama dari kehidupan, yang bertentangan dengan
fitrah manusia, dan tidak memandang aspek spritual sedikit pun
dalam kehidupan umum, memandang bahwa kehidupan dunia
sebagai manfaat belaka, serta menjadikan hubungan sesama
manusia berdasarkan pada manfaat. Hadlarah semacam ini tidak
menghasilkan apa-apa selain kesengsaraan dan keresahan yang
terus-menerus. Sebab, selama manfaat dijadikan asas, akan
mengakibatkan perselisihan dan baku hantam dalam
memperebutkannya. Hubungan sesama manusia dibangun
dengan mengandalkan kekuatan, menjadi sesuatu yang wajar.
Karena itu, penjajahan merupakan hal yang wajar bagi penganut
hadlarah ini. Akhlak pun menjadi guncang. Sebab, hanya manfaat
saja yang tetap menjadi asas kehidupan. Dengan demikian, wajar
jika akhlak telah tergerus dari kehidupan masyarakat Barat,
bersamaan dengan tergesernya nilai-nilai kerohanian. Maka, menjadi wajar pula bila kehidupan ini berjalan atas dasar
persaingan, permusuhan, baku hantam, dan penjajahan. Krisis
kerohanian melanda umat manusia, keresahan yang kronis, serta
kejahatan yang merajalela di seluruh dunia merupakan bukti
nyata dari dampak hadlarah Barat. Hadlarah inilah yang kini
berkuasa di seluruh dunia. Dia telah menimbulkan berbagai
dampak berbahaya, dan membahayakan kelangsungan hidup
umat manusia.
Namun jika kita mengamati hadlarah Islam yang pernah
berkuasa di dunia sejak abad VI hingga akhir abad XVIII M, kita
dapati betapa hadlarah ini tidak pernah menjadi penjajah, karena
memang bukan tabiatnya untuk menjajah. Hadlarah ini tidak
membedakan antara kaum Muslim dengan yang lainnya.
Keadilan terjamin bagi seluruh bangsa yang pernah tunduk di
bawahnya selama masa kekuasaan Islam. Karena hadlarah ini
berdiri atas dasar ruh yang berusaha mewujudkan seluruh nilai-
nilai kehidupan, baik itu nilai materi, spiritual, moral, maupun
kemanusiaan; disamping menjadikan akidah sebagai titik
perhatian dalam hidup ini. Kehidupan pun dipandang sebagai
kehidupan yang berjalan sesuai dengan perintah Allah dan
larangan-Nya. Kebahagian hidup adalah dengan meraih
keridlaan Allah SWT. Apabila hadlarah Islam kembali berkuasa
di dunia sebagaimana masa-masa sebelumnya, tentu hadlarah
ini akan mampu menangani berbagai krisis yang melanda dunia,
dan mampu menjamin kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

*Taquyuddin an-Nabhani*

Read more...

Friday, August 20, 2010

DAKWAH TANPA KEKERASAN


Oleh: MR Kurnia

Hakikat Dakwah Tanpa Kekerasan

Masyarakat laksana air yang ada dalam gelas. Ketika gelas berisi air kotor, maka agar kita dapat menikmati air bersih, mestilah airnya diubah; bukan dengan memecahkan gelasnya, melainkan dengan mengganti airnya. Buang air yang kotor, lalu diganti dengan air yang bersih. Begitu juga ketika melakukan perubahan masyarakat.

Mengubah masyarakat bukanlah menghancurkan masyarakat, melainkan mengganti sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pada zaman Nabi saw., rumah, pasar, maupun kebun pada masa Jahiliah sama dengan pada saat Islam diterapkan. Bahkan, orangnya pun tidak berbeda. Misalnya, Umar pada masa Jahiliah sama dengan Umar pada masa Islam, Abu Sufyan pada masa Jahiliah sama dengan pada masa Islam. Yang berbeda hanyalah keyakinan dan tolok ukur kehidupannya. Berbagai suku di Jazirah Arab pada masa Islam sama dengan suku-suku pada waktu Islam masih lemah.

Bedanya, aturan yang diberlakukan pada berbagai suku dan bangsa tersebut pada masa Jahiliah adalah aturan buatan logika dan nafsu manusia, sedangkan pada saat Islam kuat mereka dihukumi oleh aturan Islam. Karena itu, mengubah masyarakat berarti mengubah isinya, yakni mengubah kepribadian anggota masyarakat, pemikiran masyarakat (baik terkait dengan akidah maupun syariat), perasaan masyarakat, dan sistem (nizhâm) yang mengatur berbagai interaksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Pada saat perubahan masyarakat dimaknai sebagai perubahan seperti itu, maka yang harus diubah adalah pemikiran, perasaan, dan sistem masyarakat. Dulu, Nabi saw. dan para sahabat melakukan hal ini. Misalnya, masyarakat Arab yang tadinya meyakini Tuhan itu banyak diubah menjadi meyakini hanya satu Tuhan (tauhid); yang tadinya merasa bahagia ketika berhasil membunuh bayi perempuan diubah menjadi merasa berdosa ketika melakukan perbuatan tersebut; yang tadinya memaklumi adat mengurangi takaran saat berjual-beli diubah menjadi meninggalkannya; ikatan kekabilahan (kesukuan) yang selama ini menjadi pengikat masyarakat diubah menjadi ikatan ideologi Islam; berbagai hukum buatan manusia yang diberlakukan di tengah-tengah mereka diganti dengan hukum Allah Swt.

Setelah semua ini berhasil, maka sistem lama dikalahkan oleh sistem yang baru. Jadilah sistem kehidupan Jahiliah berganti dengan sistem kehidupan Islam. Pemerintahan Islam diproklamirkan di Madinah al-Munawwarah. Hukum Islam diterapkan secara total.

Perubahan dari masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat Islam seperti ini meniscayakan terwujudnya dua hal, yaitu:

1. Pembentukan opini umum yang didasari oleh iman pada Islam serta kesadaran kolektif atas wajibnya terikat dengan Islam; menerapkannya, mewujudkan negara yang menerapkannya, serta melindungnya.

2. Pewujudan kekuatan atau kekuasaan yang mampu menerapkan Islam, melindungi penerapannya, dan memungkinkannya untuk menyebarkan dakwah ke seluruh dunia.

Kedua hal tersebut merupakan fokus perjuangan Islam; merupakan fokus pertarungan dengan kekufuran, sistemnya, dan para penjaganya; juga merupakan penciptaan kesadaran kolektif, penciptaan atmosfir penerapan Islam, serta persiapan untuk menegakkannya. Tidak mungkin memproklamirkan perubahan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat Islam atau perubahan masyarakat Jahiliah apapun menjadi masyarakat Islam sebelum terwujud opini tentang itu sekaligus kehendak memperjuangkan dan mendukungnya. Mewujudkan semua itu meniscayakan adanya pergolakan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), bukan perjuangan fisik dan kekerasan. Sebab, kekuatan fisik akan menghasilkan penghancuran masyarakat, sedangkan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik akan melahirkan perubahan masyarakat yang diinginkan.

Dari sini dapat dipahami betapa hebat langkah Rasulullah saw. yang menjadikan perjuangan dakwahnya tanpa kekerasan sebagai metode untuk mengubah masyarakat. Perjuangan atas dasar pergolakan pemikiran dan perjuangan politik itulah yang merupakan hakikat dakwah tanpa kekerasan.

Saat Islam telah memiliki kekuatan politik berupa pemerintahan, maka persoalan perubahan masyarakat dari Jahiliah menjadi masyarakat Islam telah selesai. Sebab, kini sudah terbentuk masyarakat Islam. Fase berikutnya adalah menerapkan Islam. Pada fase ini berbagai hambatan fisik menghadang. Untuk menghancurkan hambatan fisik tersebut diperlukan kekuatan fisik yang seimbang bahkan lebih besar. Di situlah perjuangan fisik diperlukan melalui jihad; bukan untuk mengubah masyarakat dan bukan pula dalam konteks perubahan masyarakat, melainkan untuk menghilangkan dan merobohkan berbagai hambatan fisik yang berupaya menghalang-halangi tegaknya sistem Islam, bahkan menghancurkannya.

Dalam kerangka itulah dapat dipahami, mengapa setelah memiliki negara di Madinah, Rasulullah saw. bukan hanya melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, melainkan juga diizinkan bahkan diperintahkan menggunakan senjata, yakni berjihad.

Perubahan Masyarakat Tak Boleh dengan Kekerasan

Rasulullah saw. diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan Jahiliah menuju cahaya Islam. Ketika itu beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang diatur oleh hukum kufur dan keamanannya ada pada tangan kaum kafir. Beliau dan para sahabatnya hidup di darul kufur. Metode perjuangan Nabi saw. dalam mengubah masyarakat saat itu menjadi masyarakat Islam di Madinah amatlah jelas. Beliau melakukannya dengan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik sekaligus mensterilkan perjuangannya itu dari kekerasan fisik dan angkat senjata. Apakah karena tidak ada tantangan bersifat fisik? Bukan.

Bagaimanapun beratnya siksaan kaum kafir terhadap para sahabatnya, betapapun jumudnya masyarakat terhadap dakwah yang beliau serukan, dan walaupun kadangkala sebagian sahabat menghendaki penggunaan kekuatan fisik, tetap saja hingga menjelang tegaknya pemerintahan Islam di Madinah beliau tidak melakukan tindak kekerasan/angkat senjata. Hal itu bukan karena tidak bisa, tidak mampu, ataupun tidak mau, melainkan karena Allah Swt. melarangnya. Nabi saw. tidak melakukannya karena saat itu memang belum Allah Swt. perintahkan.

Tatkala pada Baiat Aqabah II sebagian sahabat menyampaikan keinginannya untuk menggunakan kekuatan fisik, beliau mengatakan, “Lam nu’mar bi dzâlik (Kita belum diperintahkan demikian).” (Lihat: Sîrah Ibnu Hisyâm). Pernyataan ini menegaskan sikap beliau bahwa mengubah masyarakat tidak islami menjadi masyarakat islami harus dilakukan tanpa menggunakan kekerasan fisik. Bahkan, Allah Swt. melarang kaum Muslim di Makkah melakukan kekerasan fisik dalam mengubah masyarakat. Allah Swt. berfirman:

Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut lagi dari itu. (QS an-Nisa’ [4]: 77).

Imam Jalalain dalam tafsirnya mengomentari ayat ini, bahwa ketika di Makkah, ada sebagian sahabat yang menginginkan perang karena mendapatkan tantangan fisik, namun Allah Swt. melarangnya (yang artinya): “Tahanlah tangan kalian (dari berperang), dirikanlah shlat, dan tunaikanlah zakat!” Barulah ketika di Madinah Allah Swt. memerintahkan mereka menggunakan senjata/melakukan jihad. Hal senada dijelaskan juga oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Berdasarkan hal di atas, jelaslah bahwa metode perubahan masyarakat dari masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat Islam dilakukan melalui pergulatan pemikiran dan perjuangan politik minus kekuatan senjata. Ancaman-ancaman fisik yang diterima beliau dan para sahabatnya tidak dihadapi dengan kekuatan senjata. Metode perlindungan terhadap ancaman tersebut hanyalah dengan thalab an-nushrah (menggalang dukungan/pertolongan).

Thalab an-nushrah dilakukan oleh Nabi saw. dalam rangka dua hal, yakni:

1. Untuk melindungi dan menangkal siksaan supaya beliau dan para sahabat bisa menyampaikan risalah dan menyeru manusia ke jalan Allah dalam suasana tenang.

2. Agar mereka menyerahkan kekuatan dan kedudukan yang mereka miliki untuk mewujudkan tegaknya Daulah Islamiyah.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam bukunya, Zâd al-Ma’âd, menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi saw. tinggal selama sepuluh tahun mendatangi orang-orang di tempat peristirahatan mereka pada berbagai musim. Beliau juga menemui mereka di Pasar Ukadz. Beliau menyatakan, “Siapa saja yang melindungi aku dan menolongku hingga aku menyampaikan risalah Rabb-ku maka baginya adalah surga.”

Untuk tujuan kedua, beliau mendatangi Bakar bin Wail saat ia menunaikan haji, Amir bin Sha’sha’ah, Bani Syaiban, juga para pemimpin Madinah.

Perbuatan dan nash-nash di atas menunjukkan cara beliau mengubah masyarakat. Pada waktu kekuasaan ada di tangan orang kafir dan para pengemban dakwah dalam keadaan lemah, Rasulullah saw. tetap berpegang pada pergolakan pemikiran dan perjuangan politik. Perubahan darul kufur menjadi Darul Islam beliau lakukan tanpa kekerasan. Kekerasan yang menghadang dihadapi hanya dengan thalab an-nushrah.

Pada saat ini kondisi umat Islam sama dengan kondisi saat Nabi saw. di Makkah. Sekalipun individunya mayoritas Muslim, tetapi masyarakatnya bukan masyarakat Islam. Negeri-negeri Muslim saat ini merupakan darul kufur sekalipun penduduknya Muslim. Sebab, aturan dan keamanannya bukanlah berasal dari Islam. Aturannya berasal dari Kapitalisme-sekular, dan keamanannya berada dalam genggaman negara besar, khususnya Amerika. Pemikiran, perasaan, dan aturannya pun tidak lahir dari akidah dan syariat Islam. Karena itu, perubahan masyarakat dewasa ini haruslah meneladani apa yang dicontohkan Rasulullah saw. ketika beliau berdakwah di Makkah, yaitu melalui pergolakan pemikiran dan perjuangan politik tanpa kekerasan senjata (kekuatan fisik). Menyimpang dari metode ini berarti menyimpang dari metode Rasulullah saw. dalam menegakkan Daulah Islam, yang hanya akan bermuara pada kegagalan.

Dampak Kekerasan

Penggunaan kekerasan dalam menghadapi dan mengalahkan kekuatan batil serta dalam mengubah masyarakat tidak islami menjadi masyarakat islami mengandung dampak yang tidak kecil. Uang, senjata, pasukan, pers, peralatan, dan berbagai lembaga-lembaga kemiliteran maupun lainnya ada di tangan para penguasa yang tidak menghendaki Islam. Apa yang bisa dibangun secara mandiri sangatlah kecil dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh para penguasa dan negara yang menentang Islam; jauh dikatakan seimbang.

Dakwah dengan kekerasan juga akan menimbulkan dampak negatif lainnya, yakni munculnya opini yang mengepung para pelaku dakwah yang benar dengan memojokkannya sebagai pelaku keonaran. Siapapun tidak ada yang dapat menghalangi sistem/rezim kufur mengebom berbagai kota dan menghancurkan penduduknya jika sistem/rezim itu merasakan bahaya Islam. Semua itu dilakukan dengan dorongan dan pengerahan seluruh sistem negara. Apa yang terjadi di Afganistan, misalnya, merupakan bukti kongkret.

Konfrontasi fisik militer menjadikan para pengemban dakwah memerlukan dukungan keuangan, pasukan, dan keahlian militer yang terus-menerus demi mengatasi kelemahan dan meningkatkan kemampuan. Untuk memenuhi hal itu, dicarilah orang yang memberikan bantuan dana. Ketika ada orang yang datang, terbukalah jalan setan untuk melegalisasi apa yang tidak ada landasannya secara syar’i. Setan akan menggerakkan agen-agennya yang berpura-pura sebagai orang yang berpegang pada agama, menawarkan ‘bantuan’, melakukan infiltrasi, radikalisasi, provokasi, aksi, dan jatuhlah dakwah pada perangkap stigmatisasi.

Penggunaan kekerasan fisik akan mengalihkan konfrontasi pemikiran dan politik menjadi konfrontasi fisik. Padahal hanya dengan fokus pada pergulatan pemikiran dan politiklah akan tersingkap kesesatan negara kufur, para pembesarnya, kebohongannya, kezalimannya, pengkhianatannya, dan rencana-rencana jahatnya atas Islam dan kaum Muslim. Konsistensi hal ini melahirkan kesadaran dan kekuatan politik masyarakat. Inilah pintu gerbang perubahan menuju tegaknya syariat dan kekuasaan Islam.

Berbeda dengan itu, konfrontasi kekuatan fisik sangat mungkin dimenangkan oleh negara kufur beserta para pengikutnya. Sebab, perimbangan kekuatan fisik amatlah jauh. Opini umum yang tegak di atas kesadaran umum, atmosfir tegaknya syariat Islam, dan kesadaran masyarakat pun akan melenyap. Yang dimunculkan dan dipropagandakan mereka adalah sifat kekerasannya itu. Kondisi demikian akan menjadikan masyarakat makin jauh dari dakwah dan perjuangan Islam.

Sekalipun Allah Swt. menjelaskan, sering golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak (QS al-Baqarah [2]: 249), tidak berarti penggunaan kekerasan dalam perubahan masyarakat tidak mengapa. Sebab, Rasulullah saw. sendiri tidak mencontohkannya.

Ringkasnya, mengubah masyarakat tidak islami menjadi masyarakat yang menegakkan Islam secara kâffah haruslah dilakukan dalam wujud pertarungan pemikiran dan perjuangan politik, bukan dengan kekuatan fisik. Inilah metode yang dicontohkan Nabi saw. Janganlah kaum Muslim terperosok ke dalam jebakan yang hendak mengalihkan konfrontasi pemikiran dan politik menjadi konfrontasi kekuatan fisik. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

Read more...

Sunday, July 25, 2010

Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan Dengan Ru’yatul Hilal


Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat, problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut?


Sabab Pelaksanaan Puasa: Ru’yah Hilal

Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah Swt berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).

Rasulullah saw bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasa’i no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu Umar ra ).

Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara’ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-mâni’, al-shihah wa al-buthlân, dan al-‘azhîmah wa al-rukhshah-nya.

Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara’ menjelaskan bahwa ru’yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa diru’yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya’ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari Abu Hurairah)

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).

لاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ بِصِيَامِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ شَيْءٌ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ وَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غَمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ ثُمَّ أَفْطِرُوا وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ

Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud no. 1982, al-Nasa’i 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)

إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).

Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.[1]

Ali al-Shabuni berkata, “Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ru’yah hilal, meskipun berasal dari seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. ‘Shumû li ru’yatihi wa afthirû li ru’yatihi…”.[2]

Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ru’yah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil.[3] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar ra:

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya saya melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa (HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).

Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ru’yah hilah dapat diterima.

Dari Ibnu Abbas bahwa:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا

Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat diterimanya kesaksian ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya


Tidak Terikat dengan Mathla’

Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru’yah bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain.

Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).

Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla’. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:

Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû’ atau mawqûf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu ‘Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” (demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû’. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu’ perlu dipertanyakan.

Jika dicermati, perkataan “Lâ, hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw” merupakan jawaban Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban Ibnu Abbas tersebut.

Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?”

Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar yang berkata:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).

Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marfû’. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[4]

Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.[5]

Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ru’yah di masing-masing daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: “Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda?” “Jika dalam Hadits ini jarak antara Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat?” Hadits ini juga tidak memberikan jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda pendapat mengenai jarak minimalnya.

Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafi’i dalam al-Shaghîr dan al-Nawawi dalam Syarh al-Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.

Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla’. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu’ kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu’-annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu’-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[6]

Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke-marfu’-annya, seperti Hadits:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا

Dari Ibnu ‘Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)

Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu’-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ru’yah hilal. Semua perintah dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu al-jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.

Demikian juga, kata li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata ru’yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum, [7] yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ru’yah.

Imam al-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru’yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya’.”

Imam al-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[8]

Imam al-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ adalah “apabila ru’yah didapati di antara kalian”. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[9]

Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla’. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:

غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ

Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm).

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu ‘Abbas:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا

“Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” (HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di daerah mathla’ yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ru’yah itu adalah seorang Muslim.

Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak mengakui absahnya perbedaan mathla’. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla’.[10] Ketiga madzhab (Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla’.

Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla’ (ikhtilâf al-mathâli’). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.”[11]

Abdurahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan mathla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafi’i berpendapat lain. Mereka mengatakan, ‘Apabila ru’yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla’, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru’yah ini, kerana terdapat perbedaan mathla’.”[12].

Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim– apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.”[13]

Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasanya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut Syara’ “.[14]

Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yat telah terbukti, di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.[15]

Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ru’yat itu harus diterima oleh seorang khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al-a’dham (khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim” [16]

Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[17]

Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur (benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ru’yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru’yatuh hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.


Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State

Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla’ sebagaimana dibahas oleh para ulama dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilâf al-mathâli’ (perbedaan mathla’) oleh fuqaha’ dahulu berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan daerah lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali tidak dikaitkan dengan batas begara.

Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbât (penetapan) awal dan akhir Ramadhan. Biasanya, sidang itsbât tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru’yah hilal orang-orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun yang memberikan kesaksiannya tentang ru’yah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya –bahkan yang berada di sebelahnya sekalipun– terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.

Kaum Muslim di Riau tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama kaum Muslim di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah, perbedaan awal dan akhir puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara kafir setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh negara-negara kecil.


Khatimah

Perbedaan awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di Turki diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Karena itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua prob lematika kaum muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mere ka. Yaitu, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan mener apkan syariْat Allah atas mereka. Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslim in hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).

WaLlâh a’lam bi al-shawâb (Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI).
http://hizbut-tahrir.or.id/

Read more...

Sunday, July 18, 2010

MUSLIM DEMOGRAPHICS (pertumbuhan penduduk bisa menjadi potensi atau ancaman)

The world is changing ( dunia berubah)
The global culture ( budaya dunia)
Our children inherit (anak2 kita yang melanjutkan dan mewarisi hal itu)
Will be fastly different Than it is today
(yang akan sangat berbeda jauh sama sekali dengan kondisi hari ini)
You are about to witness( dan ini tentang anda sadeng menyaksikan hal tersebut)
A report on the worlds changing demographics (sebuah laporan tentang berubahnya demografi dunia)
According to research in order for a culture to maintain itself for more than 25 years, required fertility rate 2.11/family ( sesuai dengan penelitian, dalam rangka untuk mempertahankan kebudayaan nya, selama 25 thn mengharuskan tingkat kesuburannya 2.11 anak per keluarga)
In anything else less culture is decline( di sisi lain berlawanan dengan budaya dan ekonomi yang terus meningkat.)
1.9 never reserved ( tidak pernah dicadangkan)
1.3 imposible to reserved(tidak mungkin tercadangkan)
This data take about 80-100 years to correct it self ( data ini diambil sekitar 80 sampai 100 tahun untuk memperbaiki dirinya sendiri.)
And there is no economics modal and culture which consisten with time ( di sisi lain tidak ada ekonomi (modal) dan budaya yg konsisten dengan beriringny waktu)
In other world if two of parent have one child demographics rate must be able to stopped, (jika setiap keluarga memiliki satu orang anak maka akan mudah untuk menahan laju pertumbuhan penduduk)
Jika pada tahun 2006 penduduknya sekian (seperti dalam video), dan hanya punya anak satu, maka tahun 2026 penduduk dapat ditahan,,,laju pertumbuhannya)
Fertility rate (angka kelahiran)
Frnace 1.8, England 1.6, Greece 1.3, Germany 1.3, Italy 1.2 Spain 1.1
Acrros the eurofean union all of 31 countries the fertility rate 15 1.38
Historical research tells us it's numbers are imposible to reversed the population of Europe is not declining why? Is it the reason
1- Imigrasi
Prancis 1.8 anak/keluarga, 30% anak di prancis dibawah usia 20 tahun adalah Muslim (tahun 1990) 45% anak di prancis di bawah usia 20 tahun adalah muslim, ditahun 2027 1 dari 5 laki2 prancis adalah muslim,berarti di tahun ke 39 prancis akan menjadi Negara republik islam.
2- Inggeris: di Inggeris populasi muslim naik dari 82.000-2,5 milyar naik 30Xlipat.
3- Belanda:50% anak yang lahir adalah muslim, dan dalam 15 tahun setengah dari populasi belanda adalah muslim.
4- Rusia: 23 milliar muslim ini berarti 1 dari 5 orang adalah musliim, dan 40% tentaranya adalah muslim, ini dicapai hanya dalam beberapa tahun.
5- Belgia:25% dari populasi 50% daari kelahiran adalah muslim, ini berarti 1/3 dari semua anak laki2 di eropa akan terlahir dari keluarga muslim dalam tahun 2025, dan ini hanya di tempuh dengan waktu 17 tahun.
Pemerintah Jerman: penurunan populasi di Jerman tak dapat dihentikan, lebih lama, dan perputaran ini tak dapat dikembalikan. Dan ini akan menjadi Negara Islam tahun 2050 (data dari BPSnya German).
Pemerintahan swedia dari 75% -99% etnis swedia dalam 30 thn ini berarti dari 1000-600.000 muslim dalam 30 thn,
Ibukota Stockholm memiliki jumlah keluarga yang lebih banyak dibandingkan ibukota lain didunia. Angka kejahatan melambung tinggi di Swedia ( pelecehan seksual diantaranya). Swedia sedang menyaksikan ledakan kejahatan jalanan yang luar biasa disepanjang sejarah, dan setiap dua jam sekali terjadi pelecehan wanita.
Para pemimpin nasionalis partai democrat Swedia hidup dibawah ancaman kejahatan, sejalan dengan berdasarkan laporan terbaru dari swedia security servis sapo.
Seorang penuli "bruce bawer mengatakan bahwa partai democrat swedia telah menetukan target yang harus meninjau ulang revolusi kebudayaan cina,
Tingkat sebuah protest pada sebuah divisi kepemudaan sangat tinggi, dan dari partai lain pun telah menuntut untuk memberhentikan parapetinggi democrat dari jabatannya.
Jurnalis Danish" laaar hadgegaard" menyatakan tidak bebas untuk berpendapat di swedia, dan dia juga menyatakan saya fikir prediksi paling baik, adalah swedia akan memiliki pendudukmuslim yang mayoritas pada tahun 2049, jadi kita tau arah negara tersebut.
Media Swedia dan para pendiri parpol menyembunyikan fakta tentang ini,
Terdapat pula banyak ayat dalam alquran bahwa Allah akan memberikan kemenangan pada islam di Eropa tanpa pedang, pistol, dan penaklukan, tak membutuhkan teroris, bom pemusnah masal.
50 juta lebih musli di eropa akan menjadikan benua muslim dalam beberapa decade ke depan( al muaamar al gaadafi).
Ada 52 juta muslim di eropa, dan ada 104 juta, Canada fertilitas rate 1.6 (required 2.11) 2001-2006.
Amerika fertilitas rate 1.6 bila disatukan dengan latin maka menjadi 2.11.
Pada tahun 1970, 100.000 muslim terdapat disana thn 2008 terdapat 9.000.000 muslim.
Bahwa kita harus mempersiapkan diri kita sendiri menghadapi kita sendiri bahwa dalam 30 tahun akan ada 50 juta muslim hidup di Amerika.
Pada akhirnya kaum kafir pun menyadari hal ini, harus dihentikan karna mereka takut Islam memimpin dunia..

Read more...

Sunday, June 13, 2010

pesan seorang orang tua yang mulia terhadap anaknya..


01 - Hai anakku: ketahuilah, sesungguhnya dunia ini bagaikan lautan yg dalam, banyak manusia yg karam ke dalamnya. Bila engkau ingin selamat, agar jangan karam, layarilah lautan itu dengan SAMPAN yg bernama TAKWA, ISInya ialah IMAN dan LAYARnya adalah TAWAKKAL kepada ALLAH.
02 - orang - orang yg sentiasa menyediakan dirinya utk menerima nasihat, maka dirinya akan mendapat penjagaan dari ALLAH. Orang yg insaf dan sedar setalah menerima nasihat orang lain, dia akan sentiasa menerima kemulian dari ALLAH juga.
03 - Hai anakku; orang yg merasa dirinya hina dan rendah diri dalam beribadat dan taat kpd ALLAH, maka dia tawadduk kepada ALLAH, dia akan lebih dekat kepada ALLAH dan selalu berusaha menghindarkan maksiat kepada ALLAH.
04 - Hai anakku; seandainya ibubapamu marah kepadamu kerana kesilapan yang dilakukanmu, maka marahnya ibubapamu adalah bagaikan baja bagi tanam tanaman.
05 - Jauhkan dirimu dari berhutang, kerana sesungguhnya berhutang itu boleh menjadikan dirimu hina di waktu siang dan gelisah di waktu malam.
06 - Dan selalulah berharap kpd ALLAH tentang sesuatu yg menyebabkan untuk tidak menderhakai ALLAH. Takutlah kpd ALLAH dengan sebenar benar takut ( takwa ), tentulah engkau akan terlepas dr sifat berputus asa dari rahmat ALLAH.
07 - Hai anakku; seorang pendusta akan lekas hilang air mukanya kerana tidak dipercayai orang dan seorang yg telah rosak akhlaknya akan sentiasa banyak melamunkan hal hal yg tidak benar. Ketahuilah, memindahkan batu besar dr tempatnya semula itu lebih mudah drpd memberi pengertian kpd orang yg tidak mahu mengerti.
08 - Hai anakku; engkau telah merasakan betapa beratnya mengankat batu besar dan besi yg amat berat, tetapi akan lebih lagi drpd semua itu, adalah bilamana engkau mempunyai tetangga (jiran) yg jahat.
09 - Hai anakku; janganlah engkau mengirimkan orang yg bodoh sebagai utusan. Maka bila tidak ada orang yang cerdik, sebaiknya dirimulah saja yang layak menjadi utusan.
10 - Jauhilah bersifat dusta, sebab dusta itu mudah dilakukan, bagaikan memakan daging burung, padahal sedikit sahaja berdusta itu telah memberikan akibat yg berbahaya.
11 - Hai anakku; bila engkau mempunyai dua pilihan, takziah orang mati atau hadir majlis perkahwinan, pilihlah utk menziarahi orang mati, sebab ianya akan mengingatkanmu kepada kampung akhirat sedang kan menghadiri pesta perkahwinan hanya mengingatkan dirimu kepada kesenangan duniawi sahaja.
12 - janganlah engkau makan sampai kenyang yg berlebihan, kerana sesungguhnya makan yg terlalu kenyang itu adalah lebih baiknya bila makanan itu diberikan kpd anjing sahaja.
13 - Hai anakku; janganlah engkau langsung menelan sahaja kerana manisnya barang dan janganlah langsung memuntahkan saja pahitnya sesuatu barang itu, kerana manis belum tentu menimbulkan kesegaran dan pahit itu belum tentu menimbulkan kesengsaraan.
14 - Makanlah makananmu bersama sama dengan orang orang yg takwa dan musyawarahlah urusanmu dengan para alim ulamak dengan cara meminta nasihat dari mereka.
15 - Hai anakku; bukanlah satu kebaikan namanya bilamana engkau selalu mencari ilmu tetapi engkau tidak pernah mengamalkannya. Hal itu tidak ubah bagaikan orang yg mencari kayu bakar, maka setelah banyak ia tidak mampu memikulnya, padahal ia masih mahu menambahkannya.
16 - Hai anakku; bilamana engkau mahu mencari kawan sejati, maka ujilah terlebih dahulu dengan berpura pura membuat dia marah.Bilamana dalam kemarahan itu dia masih berusaha menginsafkan kamu,maka bolehlah engkau mengambil dia sebagai kawan. Bila tidak demikian, maka berhati hatilah.
17 - selalulah baik tuturkata dan halus budibahasamu serta manis wajahmu, dengan demikian engkau akan disukai orang melebihi sukanya seseorang terhadap orang lain yg pernah memberikan barang yg berharga.
18 - Hai anakku; bila engkau berteman, tempatkanlah dirimu padanyasebagai orang yg tidak mengharapkan sesuatu daripadanya.Namun biarkanlah dia yg mengharapkan sesuatu darimu.
19 - Jadikanlah dirimu dalam segala tingkahlaku sebagai orang yg tidak ingin menerima pujian atau mengharap sanjungan orang lainkerana itu adalah sifat riya~ yg akan mendatangkan cela pd dirimu.
20 - Hai anakku; janganlah engkau condong kpd urusan dunia dan hatimu selalu disusahkan olah dunia saja kerana engkau diciptakan ALLAHbukanlah untuk dunia sahaja. Sesungguhnya tiada makhluk yang lebih hina daripada orang yang terpedaya dengan dunianya.
21 - Hai anakku; usahakanlah agar mulutmu jangan mengeluarkan kata kata yg busuk dan kotor serta kasar,kerana engkau akan lebih selamat bila berdiam diri. Kalau berbicara, usahakanlah agar bicaramu mendatangkan manfaat bagi orang lain.
22 - Hai anakku; janganlah engkau mudah ketawa kalau bukan kerana sesuatu yg menggelikan, janganlah engkau berjalan tanpa tujuan yg pasti, janganlah engkau bertanya sesuatun yang tidak ada guna bagimu, janganlah mensia siakan hartamu.
23 - Barang sesiapa yg penyayang tentu akan disayangi, sesiapa yg pendiam akan selamat daripada berkata yg mengandungi racun, dan sesiapa yg tidak dapat menahan lidahnya dr berkata kotor tentu akan menyesal.
24 - Hai anakku; bergaullah rapat dengan orang yg alim lagi berilmu. Perhatikanlah kata nasihatnya kerana sesungguhnya sejuklah hati ini mendengarkan nasihatnya, hiduplah hati ini dengan cahaya hikmah dari mutiara kata katanya bagaikan tanah yg subur lalu disirami air hujan.
25 - Hai anakku; ambillah harta dunia sekadar keperluanmu sahaja, dan nafkahkanlah yg selebihnya untuk bekalan akhiratmu. Jangan engkau tendang dunia ini ke keranjang atau bakul sampah kerana nanti engkau akan menjadi pengemis yang membuat beban orang lain. Sebaliknya janganlah engkau peluk dunia ini serta meneguk habis airnya kerana sesungguhnya yg engkau makan dan pakai itu adalah tanah belaka. Janganlah engkau bertemankan dengan orang yg bersifat talam dua muka, kelak akan membinasakan dirimu.

Read more...

Friday, June 11, 2010

DAKWAH ISLAM: Antara Tharîqah, Uslûb, dan Washîlah

Ideologi secara umum dapat didefinisikan sebagai serangkaian konsep hubungan dan keyakinan yang memberikan dasar bagi sistem politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Dengan demikian, kita memahami bahwa ideologi apapun mempunyai dua komponen pokok: (1) ide (fikrah); (2) metode (tharîqah).

Ide (Fikrah)
Terma ide (fikrah) dapat diterjemahkan sebagai pemikiran. Pemikiran yang paling mendasar adalah doktrin tentang landasan, yaitu doktrin tentang akidah. Seluruh pemikiran dan sistem yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan terpancar dari—dan ditentukan oleh—akidah. Dengan demikian, ide/pemikiran—yang menjadi satu dari dua komponen pokok sebuah ideologi—adalah pemikiran yang dibangun di atas akidah. Dalam konteks ideologi, ide terdiri dari:
(1) Akidah atau doktrin itu sendiri yang merupakan landasan pemikiran tentang alam, manusia, dan kehidupan. Allah SWT berfirman:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
Katakanlah, “Allah itu Esa.” (QS al-Ikhlash [112]: 1).

Ayat di atas merupakan ide/pemikiran yang berkaitan langsung dengan akidah.
(2) Peraturan/hukum-hukum yang muncul dari akidah. Hukum-hukum (ahkâm) itu diturunkan dari akidah (doktrin) dan digunakan untuk memecahkan problema kehidupan secara keseluruhan. Allah SWT berfirman:
وَاَحَلَ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 225).

Ayat tersebut menghasilkan pemikiran yang berkaitan dengan interaksi yang spesifik, yakni interaksi ekonomi dan kerjasama. Ayat-ayat yang lain ada yang berkaitan dengan kondisi yang diperlukan untuk mendirikan khilafah, menjelaskan tentang khalifah, dsb. Ada juga yang berkaitan dengan tata hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, transaksi bisnis, makanan, pakaian, dan lain sebagainya.

Metode (Tharîqah)
Metode (tharîqah) adalah cara untuk merealisasikan ide sehingga sebuah ideologi menjadi aplikatif (membumi), tidak menjadi falsafah kosong. Rasulullah saw. tidak hanya sekadar menjadi penyampai berbagai penjelasan Tuhannya semata, tetapi juga menjadi seorang hakim pelaksana atas berbagai penjelasan tersebut. Rasulullah saw., misalnya, tidak hanya sekadar menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa yang harus disembah, tetapi juga berusaha agar hal itu bisa direalisasikan ke dalam dunia nyata. Beliau menyeru umat manusia ke jalan Allah, sementara pada saat yang sama, komunitas para sahabat bekerja bersama-sama beliau untuk mendirikan Daulah Islamiyah di Makkah. Dengan begitu, beliau dapat mewujudkan suatu institusi yang tegak di atas keimanan. Institusi inilah yang secara praktis menerapkan Islam, sekaligus memberikan sanksi kepada setiap orang yang keluar dari kerangka akidah dan sistem Islam. Institusi inilah yang juga berusaha menyebarkan Islam dengan metode dakwah dan jihad.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode mencakup: (1) Aplikasi atas ide; (2) Pemeliharaan akidah; (3) Penyebaran ideologi.
Hukum-hukum di seputar tegaknya Daulah Islamiyah dan usaha untuk mendirikannya, ‘uqûbât, jihad, ataupun amar makruf nahi mungkar semuanya merupakan hukum-hukum syariat yang bersifat praktis. Hukum-hukum tersebut telah ditetapkan oleh syariat untuk menjaga, memelihara, menyebarkan, serta mendakwahkan akidah dan sistem Islam—agar keuniversalan keduanya dapat tercapai.
Suatu aksi akan dipandang sebagai bagian dari metode jika ada justifikasi yang berasal dari dalil. Sebagai contoh, jihad. Jihad merupakan metode yang memiliki banyak aktivitas cabang; masing-masing memiliki landasan dalil. Contohnya adalah melakukan perang ofensif dan mendakwahkan Islam kepada mereka yang menjadi lawan berperang kita. Semua itu didasarkan pada dalil-dalil yang ada. Inilah jalan yang dilakukan dan ditempuh oleh Rasulullah. Karenanya, semua aksi itu secara kesluruhannya terlarang untuk dimodifikasi (ditambah, dikurangi, atau diubah).
Dengan demikian, jelaslah bahwa ide (fikrah) dan metode (tharîqah) merupakan komponen dari suatu ideologi. Oleh karenanya, keduanya mesti dipegang secara kuat dan dengan keyakinan penuh. Tidak boleh hanya mengambil fikrah sembari mengabaikan tharîqah ataupun sebaliknya. Allah SWT berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ
Apakah engkau akan mengimani sebagian dari al-Quran dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang melakukan hal itu kecuali kehinaan di dunia dan di Hari Kiamat kelak akan dikembalikan pada azab yang pedih. (QS al-Baqarah [2]: 85).

Seandainya tidak ada hukum-hukum yang menjelaskan tentang tatacara melindungi, menerapkan, dan menyebarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah dan sistem Islam, Islam pasti akan stagnan (beku), tidak bergerak, tidak akan sampai kepada kita, dan tidak akan tersebar ke seluruh dunia; Islam pun pasti hanya akan menjadi sekumpulan nasihat dan petunjuk semata sebagaimana halnya agama Nasrani yang cukup dengan seruan, “Janganlah kamu berzina dan tertarik dengan istri tetanggamu,” tanpa ada peraturan lain yang memungkan seruan tersebut bisa dilaksanakan di dunia nyata. Seandainya demikian kenyataannya, Islam pun pasti tidak akan memiliki pengaruh yang signifikan bagi kehidupan, dan akan membutuhkan sejumlah pemikiran praktis yang lain—di luar Islam—dalam upaya menerapkan hukum-hukum yang tidak mampu Islam terapkan; meskipun dengan gambaran yang salah.
Di dalam Islam, zina, misalnya, merupakan suatu perbuatan yang haram. Sesuatu yang dapat mencegah terjadinya hubungan yang haram ini tidak lain adalah hukum-hukum syariat yang lain yang berkaitan dengannya, yaitu ‘uqûbah atau sanksi (berupa hukuman cambuk atau rajam, red.) bagi pezina yang secara praktis diterapkan oleh Daulah Islamiyah. Dalam hal ini, syariat Islam telah menjelaskan hukum zina melalui firman Allah berikut ini:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (QS al-Isra’ [17]: 32).

Syariat Islam juga telah menjelaskan hukuman bagi pelaku zina melalui ayat berikut:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ 
Perempuan yang berzina maupun laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali deraan. (QS an-Nur [24]: 2).

Lebih dari itu, syariat Islam juga telah menjelaskan pihak yang melaksanakan hukuman tersebut dan mengurusi penerapannya melalui sabda Rasulullah saw. berikut:

»ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنِ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الإِْمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ«

Jauhkanlah sanksi hudûd dari umat Islam semampu kalian. Jika kalian menemukan jalan keluar bagi seorang Muslim (agar ia terbebas dari sanksi hudûd), lepaskanlah ia. Sesungguhnya penguasa yang salah dalam memberi maaf lebih baik daripada salah dalam memberlakukan sanksi. (HR at-Turmudzi dan al-Hakim).

Melalui hadis ini, Rasulullah saw. jelas telah menetapkan bahwa imam (penguasa)-lah yang menerapkan hukum tersebut.
Demikian juga dengan shalat. Dalam konteks shalat, sesungguhnya syariat Islam telah menjelaskan bahwa hukumnya adalah fardhu. Syariat Islam telah menjelaskan pula hukum di seputar sanksi bagi orang yang melalaikannya. Syariat Islam juga menjelaskan tentang pihak yang menerapkan sanksi, yaitu Daulah Islamiyah.

Uslûb (Cara)
Uslûb (cara) adalah cabang dari metode (tharîqah). Uslûb berbeda dengan tharîqah; ia tidak memiliki pijakan dalil secara khusus, tetapi mengikuti hukum tharîqah. Contohnya adalah dalam konteks jihad, yakni ketika Allah SWT memerintahkan kaum Muslim menyiapkan kekuatan apa saja yang mungkin dapat digunakan untuk menggentarkan, melawan, dan mengalahkan musuh.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
Siapkanlah kekuatan yang mungkin kalian siapkan untuk (menghadapi) mereka. (QS al-Anfal [8]: 60).

Persiapan tersebut memerlukan banyak aktivitas seperti menggunakan cara pabrikasi senjata tertentu, mengadopsi gaya militer tertentu, dan sebagainya. Semua aktivitas itu secara implisit terkandung dalam kata siapkanlah sehingga tidak lagi memerlukan dalil-dalil untuk menjelaskan masing-masing dari aktivitas tersebut.
Contoh lain adalah perintah Allah dan Rasul-Nya untuk memilih seorang khalifah untuk seluruh kaum Muslim. Dalam proses pemilihan khalifah boleh jadi akan ditempuh pengadopsian suatu prosedur pemilihan dan pengumuman suara. Semua ini tidak memerlukan dalil khusus, tetapi cukup disandarkan pada keterangan umum dari perintah di atas, yaitu memilih khalifah.
Walhasil, uslûb adalah sekumpulan aktivitas cabang yang diasumsikan sesuai dengan suatu aktivitas pokok tanpa memerlukan dalil khusus. Pengadopsian cara berperang tertentu, prosedur pengumuman suara, aturan lalu lintas tertentu, pembagian kekuatan militer ke divisi dan subdivisi, dsb semuanya berhubungan dengan uslûb tertentu dan hukumnya boleh diadopsi. Namun demikian, ketika uslûb tertentu mutlak harus diadopsi, maka ia menjadi wajib hukumnya karena kaidah syariat menyatakan:
]مَالاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ اْلوَاجِبُ[
Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.

Dari kaidah tersebut kita dapat mengetahui bahwa tidak ada satu kewajiban untuk mengikuti satu uslûb tertentu, kecuali ketika uslûb tersebut harus diwujudkan sesuai dengan kaidah di atas, karena uslûb bersifat kondisional.
Dengan alasan ini, uslûb yang dipakai seseorang bisa saja berbeda dengan yang dipakai oleh orang lain dan bisa berubah dari satu situasi ke situasi yang lain. Karena itu, tidak bijaksana membatasi uslûb tertentu sebagai standar. Sebab, uslûb ditentukan oleh situasi dan kondisi. Satu uslûb boleh jadi sangat berhasil pada satu situasi tetapi menjadi gagal total pada beberapa situasi yang lain. Karena itu pula, kita berkewajiban untuk berusaha keras mencari uslûb yang paling efektif. Dalam banyak hal, uslûb yang efektif akan berpelunag besar membuahkan hasil yang baik sekali, seperti manuver Khalid bin Walid ketika menarik kembali pasukan pada perang Mu’tah yang membuahkan terselamatkannya pasukan kaum Muslim dari kerusakan yang parah.

Membedakan Tharîqah dan Uslûb
Dengan meneliti sejarah dakwah, seseorang akan dapat mengetahui bahwa ada banyak keadaan yang menjelaskan perbedaan antara metode (tharîqah) dan cara (uslûb). Kita diperintahkan untuk mengadopsi dan menegakkan tharîqah tanpa ada deviasi sedikitpun, tetapi tidak diwajibkan untuk mengadopsi uslûb tertentu.
Sunnah Rasulullah adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Sunnah menjelaskan dan mendeskripsikan secara detil banyak fikrah dan tharîqah yang diperintahkan dalam al-Quran. Penjelasan atas fikrah tertentu adalah sama hukumnya dengan fikrah itu sendiri. Contohnya adalah ibadah ritual. Allah telah memerintahkan bagaimana performa seseorang yang melaksanakan shalat dan haji secara detil. Semua aktivitas itu hukumnya sama dengan fikrah-nya, yakni perintah untuk menunaikan shalat dan haji itu.
Untuk mengetahui mana dari aktivitas Rasulullah yang merupakan kewajiban, mana yang merupakan sunnah/anjuran, dan mana yang merupakan kemubahan maka ketentuan dalam ushul fikih perlu dijelaskan. Dengan mendalami aktivitas Rasul dalam berbagai tahapan dakwahnya akan ditemukan apakah suatu aktivitas merupakan bagian dari tharîqah atau uslûb. Rasulullah menyampaikan Islam mengikuti tharîqah tertentu.
Yang termasuk tharîqah dakwah Rasulullah saw. adalah menyampaikan Islam dan menggerakkan dakwah dari satu tahap ke tahap berikutnya. Beliau menetapi tahap dakwah tertentu dengan aktivitas yang tidak beliau lakukan pada tahap sebelumnya yang disertai dengan ketekunan dan kesungguhan hati sekalipun hal itu berpotensi mendatangkan bahaya. Semua itu menjadi sejumlah bukti/dalil bahwa aktivitas tersebut merupakan kewajiban dan menjadi bagian dari tharîqah.
Secara spesifik, pada tahap awal sekali, Rasulullah teguh dalam memusatkan usaha untuk membina individu dalam halqah-halqah dan mendidik masyarakat umum (tatsqîf jama‘î). Ketabahan dan keberlanjutan beliau dalam melaksanakan aktivitas tersebut merupakan bukti/dalil yang memastikan bahwa mendidik masyarakat dan mendidik individu dengan Islam merupakan tharîqah. Konsekuensinya, hal itu wajib diadopsi dan diikuti.
Pada tahap kedua, yang dilakukan oleh Rasulullah mencakup dua aktivitas. Keduanya tidak beliau lakukan pada tahap sebelumnya atau tahap pertama (tahap tatsqîf) yaitu:

a. Mengkritik berbagai perilaku buruk yang terjadi di masyarakat dalam bentuk yang dimandatkan oleh Islam. Rasulullah menyerang kecurangan dan penipuan dalam timbangan dan praktik pembunuhan anak perempuan.
b. Menyingkap rencana makar terhadap kaum Muslim semisal yang terjadi selama peperangan antara Romawi dan Persia.

Semua itu mengindikasikan bahwa menyingkap rencana orang-orang kafir dan membongkar isu di masyarakat dengan dasar Islam merupakan bagian dari tharîqah. Berbagai macam aksi Rasulullah saw. pada tahap kedua yang tidak beliau lakukan pada tahap pertama mengindikasikan bahwa sejumlah aktivitas itu merupakan aktivitas yang spesifik yang mesti ada pada tahap kedua.
Pada tahap ketiga, Rasulullah saw. berupaya mencari perlindungan (thalab an-nushrah) bagi dakwah Islam. Beliau berkeras hati dan terus melakukan upaya ini. Beliau, misalnya, mengutus Mush‘ab bin Umair ke Madinah. Semua itu mengindikasikan bahwa mencari perlindungan bagi dakwah Islam merupakan bagian dari tharîqah.
Menyampaikan dakwah Islam serta mengintroduksi dan menumbuhkan fikrah Islam tentang kehidupan sekaligus mengubah kehidupan perlu dilakukan sejak tahap pertama dakwah. Kemudian, pada tahap kedua, dakwah juga perlu dibarengi dengan mengungkap rencana makar (kasyf al-khuththath) orang-orang kafir (musuh Islam) terhadap kaum Muslim dan mengangkat berbagai isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan landasan Islam. Setelah itu, perlu usaha untuk menegakkan negara Islam. Aktivitas ini terkait dengan fase ketiga dari dakwah Islam. Semua ini merupakan bagian dari tharîqah dakwah Rasulullah saw. Keteguhan beliau dalam melakukan semua itu mengindikasikan bahwa semua aksi itu wajib dilakukan dalam mendakwahkan Islam. Dalil dari semua aksi tersebut adalah firman Allah berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sungguh telah terdapat dalam diri Rasul suri teladan yang baik. (QS al-Ahzab [33]: 21).

Imam al-Qarafi mengkhususkan satu bagian dalam buku beliau, Al-Furûq. Pada bab tersebut beliau menjelaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam kapasitas beliau sebagai imam dan qâdhî (hakim), yang tidak dapat dicontoh oleh siapapun kecuali dia adalah seorang imam atau qâdhî. Demikian pula apa yang dilakukan oleh Rasul dalam kapasitasnya sebagai dai yang menyerukan Islam; merupakan kewajiban bagi semua pengemban dakwah Islam.
Dengan demikian, tatkala kita membawa pesan Islam, kita tidak boleh melakukan berbagai aktivitas perjuangan fisik (mengangkat senjata) sebelum berdirinya daulah (negara) Islam, karena hanya Daulah Islamiyah-lah yang boleh melakukan perjuangan fisik. Rasulullah hanya melakukan aktivitas perjuangan fisik setelah beliau menjadi kepala negara Islam. Ketika di Makkah, beliau sama sekali tidak melakukan aktivitas fisik, karena beliau belum menjadi imam (kepala negara).
Kita menjumpai bahwa Rasulullah melakukan sejumlah aktivitas dalam menyampaikan pesan Islam saat di Makkah. Beliau melakukan pembinaan khusus di tempat-tempat khusus dan dengan cara yang khusus, yaitu dalam bentuk halqah-halqah, seperti Halqah al-Khabbab. Beliau juga mendidik masyarakat secara umum. Aktivitas itu dilakukan dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda, misalnya beliau pernah mengundang orang-orang untuk makan bersama dengan tujuan untuk menyampaikan risalah Islam; beliau juga pernah berdiri di Bukit Shafa seraya menyampaikan pesan-pesan Islam. Aktivitas yang berbeda-beda ini terkait dengan cabang dari konsep pokoknya, yakni pembinaan umum (tatsqîf jama‘î). Dengan demikian, dalam hal yang terakhir ini, kita tidak diwajibkan untuk melakukan cara yang sama dengan cara yang diadopsi dan daipraktikkan oleh Rasulullah. Kita bisa saja berbicara kepada orang ketika orang-orang itu berkumpul di masjid, saat pesta pernikahan, atau di penguburan; melalui media seperti di bus, kereta, pesawat, dan sebagainya.
Hal yang sama dilakukan oleh Rasulullah mencari perlindungan (thalab al-nushrah). Beliau hanya mencari perlindungan dari kaum Muslim atau dari individu Muslim yang memiliki kekuatan saja (tidak dari orang-orang kafir). Konsekuensinya, kita pun dapat mencari perlindungan dari suatu kaum, dari komandan militer, atau dari massa yang memiliki kekuatan (ahl al-quwwah) selama mereka adalah Muslim. Artinya, mencari perlindungan dalam dakwah adalah termasuk tharîqah, sedangkan siapa yang harus diminati perlindungan adalah termasuk uslûb.
Kesimpulannya, uslûb didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu kewajiban dilaksanakan. Uslûb tidak memerlukan dalil spesifik karena telah tercakup dalam dalil umum dari aktivitas pokoknya dan tujuan yang hendak diraih.

Wasilah (Alat)
Wasilah (washîlah) adalah piranti fisik yang boleh diadopsi ketika melakukan aktivitas cabang. Menggunakan kertas untuk menulis, radio untuk berbicara, dan senapan otomatis untuk berperang, dll merupakan wasilah. Dalam hal ini, berlaku kaidah ushul fikih:
]
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Semua benda adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Contoh, kita dapat menggunakan kotak kayu untuk dalam pemungutan suara, menggunakan misil antar benua untuk berperang, atau menggunakan satelit untuk komunikasi. Kita dapat menyeru masyarakat dengan menggunakan pamflet-pamflet, leaflet-leaflet, atau sarana-sarana lainnya. Semua itu diperbolehkan. Rasulullah saw. suatu ketika pernah mengutus seseorang ke Yaman untuk mempelajari teknik pembuatan pedang dan lantas Rasul pun mengadopsi teknologi tersebut. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

Read more...

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP